Pakar hukum pidana Yenti Garnasih mengatakan, walaupun sejauh ini belum ada yang mengambil keuntungan pribadi dari penggelembungan anggaran tersebut, tetapi pihak-pihak yang terlibat dalam pengajuan sudah dianggap berniat untuk melakukan korupsi.
"Ada pemikiran 'Ini kan baru diajukan, apakah ini korupsi atau tidak?'. Padahal di dalam ranah hukum pidana itu kan ada istilahnya percobaan. Ada indikasi untuk melakukan korupsi yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan negara," kata Yenti kepada Kompas.com, Jumat (6/3/2015).
Menurut Yenti, dugaan percobaan korupsi bisa diperkuat dengan bukti-bukti yang ada, baik bukti barang maupun keterangan saksi. Bukti barang yakni alokasi anggaran pembelian barang yang jauh melampaui harga yang ada di pasaran.
Sedangkan untuk keterangan saksi, Yenti menyontohkan pengakuan para kepala sekolah yang merasa mereka tidak pernah mengajukan pengadaan unit perangkat penyedia daya listrik tanpa gangguan (uninterruptible power supply/UPS).
"Harganya bukan segitu, tetapi dibikin jadi segitu. Apalagi keadaannya dipaksakan. Sekolah tidak memerlukan, tetapi dipaksa menerima. Padahal mereka tidak mengajukan penawaran," ucapnya.
Tidak hanya itu, kata Yenti, pengenaan pasal pidana untuk terduga percobaan korupsi juga bisa didapat dari kasus-kasus sebelumnya. Ia pun menyontohkan dugaan korupsi pada pengadaan UPS tahun 2014.
"Dalam konteks hukum pidana, suatu kejadian itu bisa menjadi pintu masuk untuk kejadian sebelumnya. Jadi yang lalu-lalu juga terungkap," kata dosen Universitas Trisakti itu.
Sebagai informasi, penggelembungan anggaran pengadaan barang dan jasa pada RAPBD DKI 2015 dikenal dengan istilah "anggaran siluman". Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menyebutkan, total anggaran siluman mencapai Rp 12,1 juta.
Ahok menduga dana siluman berasal dari proyek-proyek titipan anggota DPRD DKI. Atas dasar itu, ia kemudian melaporkan temuan tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik yakin para anggota DPRD DKI tidak akan ada yang tersangkut masalah hukum, terkait dugaan adanya dana siluman pada RAPBD 2015.
Ia juga menolak anggapan yang menyamakan kasus tersebut dengan kasus-kasus korupsi yang pernah menyeret para legislator ke dalam masalah hukum. "Kasus ini enggak mungkin sama, soalnya anggaran belum digunakan, baru disahkan. Jadi belum kejadian (digunakan)," kata dia, di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (3/3/2015).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.