"Itu akan jadi branding, jadi sejarah. Oh Jakarta, dulu gubernurnya ada yang sebut ta*k. Kalau dicari di-google, Ahok-ta*k pasti muncul di seluruh dunia," ujar Emrus dalam rapat angket, Kamis (26/3/2015).
Emrus mengatakan, hal ini menunjukkan bahwa pejabat publik harus belajar komunikasi. Emrus mengatakan, komunikasi bukan hanya diartikan sebagai media penyampaian pesan. Memang, Ahok sudah mengucapkan permintaan maaf atas perkataan tersebut. Ahok juga telah menjelaskan alasan mengapa ia bisa kelepasan mengucap "bahasa toilet" itu.
"Akan tetapi, pesan tidak bisa ditarik kembali dengan upaya apa pun, termasuk minta maaf. Luka tidak pernah bisa disembuhkan. Ketika kita berucap, maka itu tidak bisa ditarik lagi. Pesan yang dilontarkan selalu berbekas, terutama bagi khalayak yang diserang," ujar Emrus.
"Pilihan kata yang paling jelek itu adalah isi toilet," tambah Emrus.
Emrus menambahkan, wajar apabila pejabat negara merasa marah ketika melihat penyimpangan. Akan tetapi, menurut Emrus, kemarahan tersebut bisa dilakukan tanpa perlu mengeluarkan kata-kata kasar. Jika hal tersebut dilakukan, maka hal itu malah akan merusak tatanan sosial.
"Manusia mungkin marah lihat penyimpangan sosial, tetapi harus tetap disampaikan dengan garis etika. Misal, anak saya melanggar etika, saya tetap menegur dia, tetapi tidak boleh marah-marah. Justru saya yang harus merangkul dia. Para pejabat publik inheren dalam dirinya, berkomunikasi mengindahkan etika," ujar Emrus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.