Seketika lantai peron tak lagi terlihat dan diganti lautan orang yang serba bergegas hendak melanjutkan perjalanan.
Saat ini, semua rute perjalanan kereta api adalah dari daerah sekitar Jakarta menuju pusat ibu kota. Meskipun ada terobosan peningkatan kualitas pelayanan kereta komuter dalam beberapa tahun terakhir, tetapi jalur pelintasan kereta api Jabodetabek tak menunjukkan perubahan mendasar meski telah beroperasi puluhan tahun.
Rute kereta api di dalam kota masih terbatas. Di samping itu, belum ada rute yang melayani perjalanan antarkota di sekitar Jakarta.
Jenis angkutan lain yang melayani antarkawasan pun terbatas. Bus angkutan perbatasan terintegrasi bus transjakarta sekadar membawa penumpang dari kawasan mitra menuju Ibu Kota. Perjalanan warga Jabodetabek antarkawasan praktis dilayani angkutan umum reguler yang kualitasnya tidak standar. Akhirnya, kendaraan pribadilah yang menjadi andalan utama warga bermobilitas.
Yang muncul dan berkembang kemudian adalah jalan tol. Setelah Tol Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) dibangun pada 1973, sesuai data Kementerian Pekerjaan Umum, menyusul dibangun Tol Dalam Kota, Tol Jakarta-Cikampek, dan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR), dan tol antarkawasan mitra yang mulai dirintis, seperti Depok-Antasari. Ke depan, masih banyak lagi jalan tol lain yang akan dibangun.
Namun, melewati tol tak lagi bebas hambatan. Kemacetan parah kini terus terjadi di Tol Jagorawi, Tol Dalam Kota, dan JORR. lama perjalanan sekitar 87 kilometer Serpong-Bogor via tol saja bisa 2-4 jam.
"Semua moda tetap ada susahnya. Jadi, kalau tidak perlu banget, tidak usah lintas kawasan, deh," kata Arifianti (26), mahasiswa pascasarjana di salah satu perguruan tinggi yang ditemui di Stasiun Tanah Abang, Selasa.
content
Kawasan untuk hidup
Kesulitan warga Jabodetabek dalam bertransportasi ini mau tak mau masih membuat sekat tegas antara Jakarta dan sekitarnya. Padahal, masalah transportasi hanya satu dari sederet panjang persoalan yang dihadapi warga Jabodetabek.
Jakarta, di samping sebagai pusat pemerintahan, juga merupakan pusat perekonomian nasional. Arus urbanisasi pun terus mengalir ke kota ini.
Fenomena tersebut tidak diikuti dengan penataan agraria dan ruang yang memadai sehingga perkembangan Jakarta melebar dan meluas secara horizontal ke kota sekitar, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Terwujudlah kota-kota yang tidak terstruktur dan terencana.
Data Demographia World Urban Areas edisi tahunan ke-11 yang terbit Januari 2015, menyebutkan, kawasan Jabodetabek berada di urutan kedua setelah Tokyo, Jepang, dari 28 megapolitan terbesar di dunia. Populasinya kini mendekati 30 juta jiwa. Kemunculan mega kawasan ini, menurut pelbagai studi, akan amat boros air, energi, pangan, dan mineral. Selain itu, kawasan ini akan amat rentan rusak dan dihantam bencana alam jika pembangunan tidak dikendalikan.
"Bagaimana mau berharap masalah sungai dan banjir teratasi, masalah macet terurai, kalau program di tiap daerah jalan sendiri-sendiri. Padahal, perencanaan tentang sinergi kawasan Jabodetabek sudah ada sejak 1966 dan terus diperbarui sampai sekarang," kata Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan saat Konferensi Internasional Ke-5 Forum Studi Jabodetabek di Bogor, 17 Maret.
Ia pun menantang akademisi dan pemerintah daerah untuk memperkuat kerja sama pembangunan Jabodetabek. Di tingkat pemerintah pusat, Ferry mendorong agar kelembagaan itu memiliki kekuatan hukum mengatur program terintegrasi antarkawasan.