JAKARTA, KOMPAS.com — Media sosial sudah menjadi sarana hampir setiap orang untuk mengungkapkan pendapat, bahkan untuk bersikap kritis terhadap aparat penegak hukum, termasuk polisi. Tak jarang, netizen pun melontarkan cacian, bahkan makian sehingga terkesan memberikan perundungan (bully) kepada polisi.
Namun, seiring penggunaan media sosial yang masif, polisi seakan tidak punya pilihan untuk menjawab perundungan dari netizen, kecuali dengan terus berusaha memperbaiki kinerja.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Martinus Sitompul mengakui hal tersebut. Menurut dia, meskipun perundungan di media sosial tersebut tidak selalu sesuai dengan fakta di lapangan, setidaknya fenomena ini bisa menjadi pelajaran bagi kepolisian.
"Kami jadi tahu, harapan masyarakat untuk melihat polisi benar, bersih, itu tinggi. Namun, jangan tidak mau disalahkan, polisi harus lebih introspeksi," tutur Martinus, Jumat (27/3/2015) di Jakarta.
Martinus menuturkan, bully di media sosial akan membuat polisi menjadi lebih mawas diri untuk melakukan tugas. Alhasil, mereka seharusnya menjadi lebih tahu bahwa pelaksanaan tugas itu tidak mudah.
"Itu akan membuat polisi merasa harus terus memperbaiki diri," ujar Martinus.
Karena itu, kata dia, kepolisian menyambut baik upaya masyarakat untuk membuat video atau rekaman yang menunjukkan kinerja yang kurang baik. Dengan demikian, hal itu dapat dijadikan bahan introspeksi.
Menurut Martinus, penyampaian kritik melalui media sosial memang merupakan cara termudah yang dapat dilakukan. Pasalnya, dengan usaha yang mudah, respons yang didapat luar biasa.
"Bandingkan kalau dia melapor, tenaganya lebih banyak kan? Waktunya juga lebih banyak terbuang, jadi lebih mudah menyampaikan lewat media sosial," kata mantan Kabid Humas Polda Jawa Barat ini.
Bully polisi lalu lintas
Jika berkaca dari perundungan terhadap polisi, yang terjadi belakang ini, kebanyakan mengarah kepada polisi lalu lintas. Misalnya, video polisi marah-marah di transjakarta yang diduga karena membela pengendara sepeda motor. Video tersebut diunggah ke YouTube sehingga mengundang komentar negatif dari netizen.
Contoh lainnya, sebuah tulisan "curhat" seorang pengemudi mobil yang mengaku mendapat kata-kata rasial dari seorang polisi. Tulisan itu diunggah di Facebook, dan lagi-lagi menuai banyak komentar bernada bully.
Persinggungan antara polisi lalu lintas dan masyarakat memang kerap terjadi. Pasalnya, polisi lalu lintas-lah yang berhadapan langsung dengan masyarakat, khususnya pengguna jalan.
Sementara itu, jumlah pelanggar lalu lintas masih sangat banyak. Pada Februari 2015 saja, Polda Metro Jaya mencatat ada 77.091 pelanggaran yang disertai surat tilang. Dengan demikian, rata-rata terdapat 2.753 pelanggaran lalu lintas per hari.
"Padahal, tidak ada orang yang mau disalahkan. Banyak orang yang membela diri saat dibilang bersalah," ucap Martinus.