Hari ini, Arifin baru mendapatkan satu pelanggan. Ia hanya dibayar Rp 7.500 untuk pekerjaan mengecilkan celana jeans. Harga itu setengah dari harga normal, yakni Rp 15 ribu. Tak mudah jadi penjahit keliling seperti Arifin. Setiap harinya ia hanya berharap akan ada warga yang memakai jasanya.
"Kita kan berharap sama orang aja. Jadi setiap hari doanya kalo pagi ada orang yang mau jahit," ucap bapak dari satu orang anak ini.
Arifin tak sendirian. Di wilayahnya, ada 15 penjahit keliling lain yang setiap hari mengadu nasib. "Ditambah ada penjahit dari daerah sebrang (Kemayoran). Jadi harus pintar-pintar," kata Arifin.
"Kadang ada yang ngerjain lama-lama, terus dia bilang bang saya mau pergi dulu. Besok balik lagi aja," kata Arifin.
Bukan pilihan mudah bagi Arifin untuk menjadi penjahit keliling. Ia harus kerja hampir sepuluh tahun di konveksi. Namun, tambatan hatinya ternyata tertuju pada usaha penjahit keliling. Ia menyebut usaha tersebut jauh lebih santai daripada harus di konveksi.
"Enak di sini, bisa santai. Pagi-pagi bisa kerjain sebentar terus dapat uang. Kalo di konveksi kan harus kejar target," ucap Arifin.
Arifin membeli gerobak jahitnya seharga Rp 800 ribu. Dengan harga segitu ia mendapat alat lengkap mulai sepeda, alat jahit hingga gerobak untuk menjahit. Kendati demikian, tak sedikit dari teman-temannya yang juga harus menyewa kepada seorang pengusaha dengan harga Rp 10 ribu per hari.
"Kalau punya sendiri kan enak ya," ucap Arifin.
"Kalau buka toko kan harus diam di situ terus. Gak keliling," kata Arifin.
"Saya kalau malam juga kerjain jahitan. Ya meskipun gak ada plang jahit di rumah, cuma orang tahu saya tukang jahit," kata Arifin.
Selain itu, Arifin menyebut kerja dengan kondisi tersebut membantunya secara finansial. Hal itu juga yang dianggap menjadi kelebihannya.
"Jadi kelebihan saya bisa kerjain malam juga," kata Arifin. Hanya saja, kata Arifin, usahanya di rumah tidak menjadi sumber utama. Ia menjadikan sumber utamanya saat menjadi penjahit keliling.