Selain proyek mass rapid transit (MRT), ada pembangunan jalur layang transjakarta Koridor XIII Ciledug-Blok M yang tengah dikebut pembangunannya. Kerja sama yang baik dengan Kota Tangerang menghasilkan terobosan berupa perpanjangan jalur transjakarta Koridor XIII hingga masuk ke dalam salah satu kawasan mitra Jakarta itu.
Rencana pembangunan light rail transit (LRT) Kelapa Gading-Kebayoran Lama makin membubungkan harapan warga yang ingin segera ada solusi mengatasi masalah kemacetan. Bahkan, LRT dinyatakan tidak hanya akan dibangun di beberapa kawasan di Jakarta, tetapi juga di kawasan mitra, seperti Bogor dan Bekasi.
Akan tetapi, di balik percepatan pembangunan angkutan massal itu, sehari-harinya kini masyarakat tetap menghadapi problem klasik pelayanan angkutan umum. Rencana penataan angkutan reguler masih jauh dari harapan terealisasi. Integrasi angkutan reguler dengan angkutan massal yang sudah ada pun terus gagal.
Maju mundur
Dari catatan Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, penggunaan kendaraan umum untuk komuter Jabodetabek hanya 23-30 persen dari total perjalanan dan selebihnya dilayani kendaraan pribadi, terutama sepeda motor.
Persiapan untuk mengintegrasikan berbagai moda angkutan sudah dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Awal Januari 2015, tim revitalisasi angkutan umum yang dikoordinasikan oleh Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta berencana menguji coba penyatuan operasi Kopaja jurusan Blok M-Manggarai dalam pengelolaan PT Transportasi Jakarta (PT Transjakarta). Pembayaran dengan sistem rupiah per kilometer.
Tim terdiri dari wakil Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda), konsultan dari Indonesia Infrastructure Initiative (IndII), dan PT Transjakarta memutuskan rencana uji coba di jalur Kopaja S66 jurusan Blok M-Manggarai.
Ketika itu, Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta Benjamin Bukit memperkirakan, tim selesai merumuskan pola kerja sama operasi akhir Maret 2015. "Satu rute uji coba cukup. Jika berhasil diperluas di rute lain," ujarnya.
Alih-alih terwujud, sampai pertengahan Juni 2015, uji coba tak jelas realisasinya. Tarik ulur kepentingan menjadi penghambat utama penyatuan pengelolaan. Apalagi armada angkutan reguler umumnya dimiliki oleh pribadi dan kelompok.
Kebijakan terkait angkutan perbatasan terintegrasi bus transjakarta (APTB) juga maju- mundur. Operasi bus sempat diwacanakan dibatasi hingga perbatasan antarkota saja. Namun, larangan itu tak dijalankan. Di lapangan, APTB membantu komuter dari sejumlah kota untuk mencapai Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berulang-ulang menyatakan kekecewaannya terhadap kerja Dinas Perhubungan. Penyatuan sistem tiket dan tarif juga tetap tidak jelas.
Direktur Utama PT Transjakarta ANS Kosasih mengatakan, pihaknya menyiapkan kartu baru yang bisa digunakan juga untuk moda angkutan lain seperti KRL. "Kami masih membahas rencana ini bersama PT KAI Commuter Jabodetabek selaku operator KRL dan Bank Indonesia," ujarnya.
Terkait integrasi fisik, Kosasih mengatakan, pihaknya akan memperbaiki jalur pejalan kaki dari halte transjakarta ke stasiun. Sementara ini, tiga tempat yang akan dibenahi adalah Cawang, Juanda, dan Sudirman.
Tanpa pernah tahu kejelasan penanganan kemacetan di Jakarta, kaum komuter yang tinggal di kawasan mitra dan bekerja di Jakarta terus dihantui masalah transportasi. Tidak mengherankan, Agus (33), warga Perumnas III Kota Bekasi, tetap memilih melewatkan waktu dua jam bersepeda motor setiap hari menuju Gambir, Jakarta Pusat. Fisik yang kelelahan dan tingkat keamanan ataupun kenyamanan yang kurang terjamin menjadi risiko Agus dan jutaan komuter lainnya. (MKN/BRO/ILO/ART/PIN)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.