"Meskipun enggak bisa menggantikan Sara, tetapi membuat saya enggak selalu merasa sepi," ujar Elisabeth kepada Kompas.com, Sabtu (25/7/2015).
Kendati menjadi kerap merasa kesepian, Elisabeth mengaku tidak memiliki dendam kepada kedua pembunuh anaknya, Ahmad Imam Al Hafitd dan Assyifa Ramadhani. Sebab, menurut dia, tidak ada gunanya membalas dendam.
"Saya sebagai orangtua kalau tidak bisa menyikapi kasus ini, jadi akan negatif. Perasaan, hati, dan sikap jadi negatif. Buat apa? Jadi harus ikhlas dan pasrah," kata Elisabeth.
Ia pun menginginkan kasus ini memberikan pelajaran untuk siapa pun. Sikap brutal yang didasari dengan cemburu tidak akan memberikan kebaikan.
"Itulah kalau sudah terkuasai cemburu. Harusnya bisa menjadi contoh karena cemburu bisa dialami siapa saja," ucap dia.
Ia mengurai, akibat tidak pikir panjang karena cemburu juga bisa merepotkan orang lain, misalnya keluarga. Menurut Elisabeth, pada kasus ini, vonis hukuman Hafitd dan Assyifa tentu membuat orangtuanya sedih.
"Pada saat melakukannya (pembunuhan), memang enggak kepikiran keluarga. Tetapi kalau sudah begini, keluarganya pasti repot. Kalau saya membayangkan jadi orangtuanya, pasti hancur ketika divonis hukuman seumur hidup," kata dia.
Pembunuhan Ade Sara terjadi pada 3 Maret 2014 lalu. Saat itu, Hafitd dan Assyifa terlebih dulu menyiksa mahasiswa Universitas Bunda Mulia itu di mobil milik Hafitd.
Ade Sara meninggal kehabisan napas karena mulutnya disumpal tissue dan koran. Setelah tewas, kedua pembunuhnya membuang mayat Ade Sara di pinggir tol Bintara.
Pada Desember 2014 lalu, Hafitd dan Assyifa divonis hukuman 20 tahun penjara oleh hakim Pengadilan Jakarta Pusat. Namun, jaksa mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung untuk menaikan hukumannya menjadi seumur hidup. MA kemudian mengabulkannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.