"Kalau aturan memang sudah baku ya, di dalam kota 60 kilometer per jam. Kemudian di antarkota 80 kilometer per jam, di jalan tol 100 kilometer per jam. Itu sudah diatur Undang-undang lalu lintas," kata Kepala Subdirektorat Pendidikan dan Rekayasa Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Ipung Purnomo saat dihubungi Kompas.com, Jakarta, Rabu (12/8/2015).
Dalam ayat 4 pasal 21 UU Lalu Lintas disebut batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan dengan batas absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas.
Sementara itu, ayat 5 menyebut "ketentuan lebih lanjut mengenai batas kecepatan diatur dengan peraturan pemerintah". [Baca: Kemenhub Akan Berlakukan Pembatasan Kecepatan 6 Bulan ke Depan]
Belakangan, pemerintah lewat Kementerian Perhubungan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 111 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Batas Kendaraan pada 29 Juli 2015 lalu. Peraturan tersebut merupakan implementasi dari Inpres Nomor 4 Tahun 2013 tentang Program Dekade Aksi Keselamatan Jalan.
Dalam Permen tersebut ditetapkan kecepatan paling rendah yakni 60 kilometer per jam dalam kondisi arus bebas, dan paling tinggi 100 kilometer per jam untuk jalan bebas hambatan atau jalan tol.
Kemudian kecepatan paling tinggi 80 kilometer per jam untuk jalan antarkota. Sementara itu untuk kawasan perkotaan kecepatan paling tinggi yakni 50 kilometer per jam. Sedangkan di kawasan permukiman yakni 30 kilometer per jam. "Tinggal kolaborasi. Enggak ada masalah. Peraturan menteri sama kayak kita," kata Ipung.
Keterbatasan pengawasan
Sampai saat ini polisi belum memiliki cara jitu untuk pengawasan penerapan aturan tersebut. "Kalau kita mengawasi secara detil sulit ya. Karena polisi tidak pada semua di tempat," kata Ipung.
Saat ini, Ipung menyebut polisi memiliki alat yang dapat mengukur kecepatan secara sepat. Alat tersebut biasa disebut dengan speed gun. "Jadi kayak model tembakan gitu. Mengetes kecepatan mobil. Nanti ada rekapan per hari dan per jam berapa. Kecepatan berapa, akan tahu," kata Ipung.
Namun alat tersebut belum sepenuhnya digunakan karena keterbatasan judan sosialiasi mengenai alat pengukur kecepatan kendaraan yang biasa digunakan di kawasan rawan kecelakaan.
"Alat ini belum disosialisasikan secara menyeluruh. Tidak kita gunakan karena keterbatasan juga," kata Ipung.
Sementara itu, untuk penegakkan hukumnya, Ipung menyebut hal tersebut sudah diatur dalam undang-undang lalu lintas. Salah satunya akan dikenakan ancaman dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.