Apabila tidak segera ditangani, trauma anak akan bertahan lama. Bahkan, korban berpotensi kelak jadi pelaku.
Sikap E (9), bocah laki-laki kelas III SD, misalnya, berubah setelah menjadi korban kejahatan seksual.
Anak sulung dari dua bersaudara itu mengalami kejahatan seksual lebih dari 10 kali oleh tetangganya, M alias Sakur (34).
Kejahatan seksual dilakukan sejak 2012. Adiknya, Y (7), juga jadi korban oleh pelaku yang sama.
P (34), ibu korban, mengatakan, sejak mengalami kejahatan seksual, anaknya jadi mudah tersinggung. "Dia jadi mudah marah," kata perempuan yang bekerja sebagai buruh cuci itu, Rabu (28/10).
Begitu tahu dua anaknya jadi korban kejahatan seksual, P langsung melaporkan peristiwa itu ke Polres Metro Jakarta Selatan.
Dua anaknya juga menjalani pemeriksaan fisik di RS. Hasil visum menunjukkan ada luka di sekitar kemaluan korban.
Keberanian P melaporkan peristiwa kejahatan seksual itu sempat ditentang tetangganya. Sebagian besar warga menganggap kejahatan seksual sebagai aib dan peristiwa memalukan.
Warga khawatir peristiwa itu mencemari nama lingkungan tempat tinggal mereka di Kelurahan Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan. Namun, P bergeming.
"Saya berharap tidak ada lagi anak- anak yang menjadi korban kejahatan seksual," katanya.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Metro Jakarta Selatan Nunu Suparmi menuturkan, keengganan orangtua melaporkan peristiwa kejahatan seksual menyulitkan proses penyidikan.
"Tidak semua orangtua mau melaporkan peristiwa kejahatan seksual kepada pihak berwajib. Padahal, laporan itu penting untuk menindak pelaku dan menghentikan peristiwa itu," katanya.
Sejak Kamis lalu, Polres Metro Jakarta Selatan menahan Sakur atas sangkaan kejahatan seksual terhadap lebih dari 15 bocah laki- laki berusia 5-12 tahun.
Kejahatan seksual dilakukan sejak 2012 di dalam rumah pelaku, sekolah, kuburan, dan kolam renang.