Tempat tinggal Nuryadi hanya berjarak 20 meter dari gunungan sampah tersebut.
"Suara mesin alat berat dan truk itu berisik banget," ujar Nuryadi saat ditemui di rumahnya, RT 004 RW 003 Kelurahan Sumurbatu, Kecamatan Bantargebang, Rabu (4/11).
Tidak hanya itu, bapak dua anak tersebut pun terpaksa akrab dengan aroma busuk yang menyengat setiap kali gundukan sampah itu diaduk, baik oleh alat berat maupun pemulung.
"Kami makan juga ditemani bau sampah. Tapi, lama-lama sudah biasa, imun...," ucap Nuryadi dengan senyum getir.
Nuryadi mulai beradaptasi dengan sampah yang mengelilingi kampungnya sejak dia berusia 13 tahun.
Kawasan yang tadinya sawah dan kebun berubah drastis menjadi bukit sampah dan truk-truk yang datang silih berganti.
Di kampungnya pun kini mulai banyak pendatang yang bekerja sebagai pemulung.
Bagi Nuryadi, bau anyir sampah dan bunyi bising sudah menjadi keseharian. Namun, ada hal yang membuat dia kesal dengan keberadaan TPST tersebut.
Air bersih dari sumur di belakang rumahnya yang tadinya aman untuk dikonsumsi terpaksa diganti air mineral galon. Air sumur tercemar rembesan air lindi.
Setidaknya, Nuryadi harus mengeluarkan Rp 20.000 per hari yang dipakai untuk membeli isi ulang air mineral galon untuk keperluan minum dan memasak.
"Kalau mandi masih pakai dari air sumur sendiri. Tapi, kalau untuk makan dan minum tidak berani dari air sumur daripada jadi penyakit," ucapnya.
Sebenarnya terdapat dua sumur artesis yang dibangun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Kelurahan Sumurbatu.
Namun, hanya sebagian warga yang menikmati air bersih dari sumur tersebut, sementara warga lain belum terkoneksi dengan sambungan pipa.