Menurut Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, pembatasan pengeras suara dalam unjuk rasa maksimal 60 desibel tetap diberlakukan melalui Pergub tersebut.
"Boleh dong (pembatasan suara). Anda apa enggak mengganggu orang? Makanya saya juga bilang sama aktivis, ada berapa aktivis jadi pejabat yang jujur? Kamu bikin list (daftar aktivis jadi pejabat jujur), kasih ke saya list-nya," kata Basuki di Balai Kota Jakarta, Senin (9/11/2015).
Ia juga menyampaikan bahwa Pemprov DKI Jakarta telah mengajukan kepada Mahkamah Agung revisi Pergub tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka. (Baca: Pemprov DKI Revisi Pergub soal Lokasi Unjuk Rasa)
"Kami sudah ajukan revisi ke MA (Mahkamah Agung). Memang ada kesalahan kemarin, kami terlalu semangat dan baik hati menyebut tiga tempat (lokasi demo)," ujar Basuki.
Menurut Basuki, Pergub itu bukan untuk membatasi lokasi unjuk rasa hanya di tiga tempat. Pemprov DKI, menurut dia, justru menyediakan tiga lokasi aksi unjuk rasa sebagai lokasi alternatif.
Tiga lokasi yang dimaksud adalah Plaza Timur Senayan, Alun-Alun Demokrasi DPR RI, dan Silang Selatan Monumen Nasional.
Basuki juga menyampaikan bahwa penyediaan tiga lokasi unjuk rasa ini dilakukan karena dalam Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, warga tidak boleh berdemo di depan kompleks Istana Kepresidenan.
"Seolah-olah kami memaksa orang demo hanya boleh di tiga tempat, itu masalahnya. Jadi kami revisi sekarang dengan menyediakan tiga lokasi dan boleh demo di lokasi lain. Selama tidak melanggar UU Nomor 9 Tahun 1998," kata Basuki. (Baca: Terkecuali di Depan Istana, Ahok Minta Aktivis Usulkan Lokasi Demo )
Sementara itu, di halaman Balai Kota, Senin siang, sekelompok masyarakat yang menamakan diri sebagai Persatuan Rakyat Jakarta (PRJ) melakukan aksi unjuk rasa. Mereka menuntut Basuki mencabut Pergub tersebut. (Baca: Kontras Tolak Pergub Pembatasan Lokasi Unjuk Rasa di Jakarta)