"Karena ini menyangkut rasa keadilan, jangan dulu ada eksekusi. Kementerian ATR/BPN akan membuat surat untuk tidak terjadi eksekusi dan akan menggunakan putusan pengadilan tinggi serta temuan pengacara Profesor Soenarjati sebagai dasar melakukan investigasi," kata Ferry, dikutip dari Harian Kompas, Sabtu (6/2/2016).
Soenarjati Djajanegara telah tinggal di rumahnya yang beralamat di Jalan Pendidikan I, Bintaro, Jakarta Selatan selama 36 tahun. Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pda 1 Februari lalu telah meminta pengosongan lahan rumah Soenarjati.
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan melakukan hal itu karena berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA), lahan yang didiami Soenarjati di Jalan Pendidikan I, Bintaro, Jaksel, dinyatakan bukan milik Soenarjati.
Padahal, Soenarjati menyatakan membeli lahan itu tahun 1965 dan sertifikat atas lahan itu keluar tahun 1973. Tahun 1979, dia mulai membangun rumah di atas lahan seluas 500 meter itu dan kemudian mulai mendiaminya tahun 1980.
"Saya memiliki berbagai surat atas tanah dan rumah ini," kata Soenarjati, Jumat (5/2), yang kini tinggal di rumah itu dengan hanya ditemani seorang asisten rumah tangga.
Made Sutrisna dari Humas PN Jaksel menyatakan, tak masalah jika Kementerian ATR/BPN ingin melakukan penyelidikan dan meminta eksekusi ditunda.
Namun, hal itu harus dilakukan melalui surat resmi ke pengadilan sehingga Ketua PN Jaksel dapat menentukan langkah.
Tanpa ada surat permohonan resmi, pengadilan dapat disalahkan jika tidak segera mengeksekusi putusan berkekuatan hukum tetap.
Dengan adanya surat resmi, kedudukan pengadilan juga dikuatkan sehingga tak menimbulkan persoalan baru secara hukum.
Sejarah
Soenarjati menuturkan, masalah yang menimpa lahan dan rumah yang ditempatinya dimulai tahun 1988. Saat itu, ada seseorang, yaitu HS, yang tiba-tiba menemuinya dan menyatakan sebagai pemilik lahan yang ditempatinya.
"Orang itu mengaku membeli lahan tersebut pada tahun 1971," katanya.
Dalam proses persidangan yang dimulai tahun 1989, Soenarjati kalah di PN Jaksel, tetapi kemudian dia banding dan menang di Pengadilan Tinggi Jakarta.
Namun, Soenarjati dinyatakan kalah oleh MA dalam putusan kasasi tahun 1999.
Pada tahun 2001, lanjut Soenarjati, pengacaranya menemukan bukti baru bahwa tanah yang dimaksud oleh HS bukan yang didiami oleh Soenarjati yang ada di Blok Rena, tetapi di blok lain yang disebut Blok Jaran.
Bahkan, saat itu juga ditemukan dua orang yang bersedia menjadi saksi. Namun, pada tahun 2002, Soenarjati tetap dinyatakan kalah oleh MA setelah melakukan peninjauan kembali.
"Pada akhir tahun lalu, tiba-tiba datang E, yang mengaku anak HS, meminta lahan ini dikosongkan. Karena saya menolak, beberapa hari lalu datang petugas PN Jaksel untuk melakukan eksekusi," jelas Soenarjati yang memperoleh gelar doktor bidang kajian Amerika pada 1987.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.