JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menertibkan kawasan prostitusi Kalijodo mengingatkan kita pada keberhasilan Wali Kota Surabaya menutup Dolly.
Pada Juni 2014, lokasi prostitusi terbesar se-Asia Tenggara itu resmi ditutup.
Bukan persoalan mudah menutup lokasi prostitusi yang sudah berusia 100 tahun itu. Berbagai penolakan disampaikan warga Dolly kepada Risma.
Namun, di balik gemerlap dunia seks di Dolly, Risma melihat banyaknya praktik penindasan dan perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan pihak tertentu terhadap pekerja seks komersial (PSK) di sana.
Perlakuan sewenang-wenang yang dimaksud Risma adalah saat para PSK diikat dengan skema utang yang tidak masuk akal. Akibatnya, mereka terus dipaksa bekerja di sana.
Kemudian, dia juga menemukan sejumlah fakta sosial menyedihkan di lapangan. Misalnya, saat dia mendatangi salah satu PSK yang sudah berumur 60 tahun di suatu wisma lokasi prostitusi di Surabaya, Jawa Timur. Risma begitu terkejut mengetahui bahwa pelanggan PSK itu mulai dari anak SD atau SMP.
"Soal penyebaran penyakit, di lokasi prostitusi itu pasti. Saya tidak bicara surga neraka atau halal haram, tapi ada praktik penindasan di sana," kata Risma, medio 2014 lalu.
Hal inilah yang membangkitkan semangat Risma untuk membongkar Dolly.
Besarnya perputaran uang di Dolly
Tak jauh beda dengan Kalijodo yang dijadikan tempat perjudian, perputaran uang di Dolly juga terbilang besar. Lokasi prostitusi yang sudah beraktivitas sejak tahun 1960-an ini telah menjadi tumpuan hidup ribuan orang.
Layaknya kawasan red light district di Belanda, Dolly juga dikunjungi turis mancanegara. Menurut hitungan AFP, dalam sehari semalam, uang yang berputar di kawasan Dolly mencapai Rp 300 juta hingga Rp 500 juta (25.000 dollar AS-42.000 dollar AS).
Adapun para PSK mendapatkan penghasilan sebesar Rp 10 juta hingga Rp 13 juta per bulan (850 dollar AS-1.100 dollar AS).