Segudang prestasi ini tentu tak datang begitu saja. Butuh waktu panjang dan upaya keras dari Stephanie.
Namun, peran sang ibu Maria Yustina dalam membentuk Stephanie menjadi sosok yang mandiri seperti saat ini sangat besar.
"Berat membesarkan anak dengan kebutuhan khusus seperti Stephanie. Tantangan terbesar justru komentar dan terkadang cibiran dari masyarakat," kenang Yustina.
Saat melahirkan putri sulungnya itu, Yustina awalnya tidak mengetahui jika Stephanie menyandang tunagrahita.
"Saya cuma lihat kok wajahnya berbeda dengan saya dan suami. Dia jarang menangis seperti bayi pada umumnya," tambah Yusnita.
Setelah mengetahui kondisi Stephanie sebenarnya, Yusnita tak patah arang, tetapi justru ingin memberikan yang terbaik bagi putrinya itu.
"Saya dikenalkan dengan seorang dokter umum yang memiliki anak penyandang down syndrome. Anak itu meninggal dunia dalam usia 16 tahun," kata dia dalam logat Surabaya yang kental.
Dari dokter itulah, Yustina mendapatkan berbagai buku soal menangani anak-anak penyandang tunagrahita yang kemudian dia gunakan sebagai dasar untuk membesarkan Stephanie.
"Salah satu yang saya pelajari lewat buku itu adalah membesarkan anak-anak seperti Fani adalah kasih sayang orangtua," tambah dia.
Selain itu, lanjut dia, saat membesarkan Fani, dia berusaha memperlakukan dia seperti anak-anak pada umumnya.
Anak-anak seperti Fani, kata dia, tanpa latihan terus-menerus akan sulit untuk melakukan hal-hal kecil dan rutin sekalipun.
"Seperti soal makan, saya ajari dia memegang sendok, menyendok makanan, dan memasukkan makanan ke dalam mulut. Saya ajari berulang kali hingga dia bisa melakukannya sendiri," papar dia.
Pernah trauma
Keteguhan Yustina untuk membesarkan Stephanie seperti anak-anak pada umumnya juga terlihat saat dia mengajari anaknya berenang.
"Saya lihat kalau di kolam renang dia selalu lebih cepat dari anak-anak sebayanya. Jadi, saya carikan dia pelatih renang," kata Yustina.
Namun, saat Stephanie berusia 12 tahun, dia sempat tenggelam di kolam renang. Peristiwa tersebut sempat membuat Stephanie trauma.
"Jika lomba, dia hanya mau di posisi start satu atau delapan, yang paling dekat dengan tepian kolam. Jadi, kalau dia merasa mau tenggelam, dia tinggal berpegangan," ujarnya.
"Akibat trauma itu, Fani selalu mual dan kadang-kadang muntah sebelum berlomba, tetapi perlahan-lahan trauma itu mulai hilang," lanjut Yustina.
Bahkan, untuk mengobati rasa trauma Fani terhadap kolam renang, Yustina terpaksa bersikap keras terhadap putri sulungnya itu.
"Saya pernah peluk dia, lalu masuk ke kolam renang bersama-sama. Di kolam, saya lepaskan dia, saat dia memeluk, saya lepaskan lagi," dia mengenang.
Tak jarang, Yustina diprotes para orangtua yang melihat cara dia menangani Fani. Namun, perempuan ini yakin bahwa dia melakukan yang terbaik untuk putrinya.
Keteguhan Yustina ditambah ketekunan Stephanie dalam berlatih tak sia-sia. Prestasi yang diraih Stephanie telah memberikan kebanggaan bagi keluarga dan negeri ini.