KOMPAS.com — Ada yang luput dari perhatian media massa atas peristiwa yang terjadi pada hari Kamis, 25 Februari 2016, lalu di sebuah sudut kota Jakarta.
Hari itu, para ulama, habib, dan para tokoh yang tergabung dalam Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah membuka sebuah acara bertajuk "Konvensi Calon Gubernur Muslim".
Apa tujuan dan semangat dari diadakannya konvensi yang dimulai pada 26 Februari hingga 10 Maret 2016 itu?
Tidak lain, konvensi diadakan guna menghadapi para calon gubernur beserta wakilnya yang akan berlaga dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, khususnya untuk menghadang Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok, yang akan maju kembali pada pilkada tersebut.
Senin, 7 Maret 2016, Ahok menyatakan diri sebagai bakal calon perseorangan bersama bakal wakilnya, Heru Budi Hartono. Heru tidak lain bawahannya sendiri, yang menjabat Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah DKI Jakarta.
Ahok menuruti kemauan relawannya, Teman Ahok, agar dirinya maju di jalur perseorangan. Kepada relawan, Ahok meminta segera mengumpulkan fotokopi KTP dukungan ulang karena lebih dari 700.000 fotokopi KTP dukungan yang sudah terkumpul bisa dianggap tidak sah akibat belum mencantumkan nama pasangannya.
Teman Ahok punya 150 hari ke depan untuk mengumpulkan data KTP dukungan baru, paling tidak sebanyak 1 juta data KTP dukungan. Sebuah upaya yang tidak mudah.
Tulisan ini tidak bermaksud menjelaskan "kenekatan" Ahok maju dari jalur perseorangan tanpa dukungan partai politik, juga tidak mengulas kemungkinan Ahok menang atau kalah atas "kenekatan"-nya itu. Ini bukan pula tentang reaksi PDI-P yang awalnya disebut-sebut berminat mendukung Ahok.
Bukan. Tulisan ini tentang konvensi untuk menjaring bakal calon gubernur DKI Jakarta yang diselenggarakan para tokoh berbasiskan agama itu.
Selama ini, konvensi itu dianggap "milik" partai politik, bukan milik organisasi kemasyarakatan atau organisasi profesi tertentu.
Sebelumnya, tak pernah kita mendengar, sebuah organisasi kemasyarakatan, ormas keagamaan, dan organisasi profesi menggelar konvensi untuk meloloskan bakal calon gubernur, bupati, dan wali kota untuk sebuah pertarungan politik pilkada.
Pada tahun 2004, Partai Golkar melangsungkan konvensi menjaring calon presiden untuk pilpres. Wiranto memenangi konvensi setelah mengalahkan Akbar Tandjung di putaran kedua konvensi.
Pada putaran pertama, selain Wiranto dan Akbar yang lolos, bertarung peserta konvensi lainnya, yaitu Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Prabowo Subianto.
Yang menarik, sebelum "lima jagoan" Partai Golkar itu bertarung, konvensi juga menjaring calon di luar Partai Golkar yang bukan politisi. Ia bisa profesional, pemuka agama, budayawan, atau ilmuwan.
Tersebutlah Nurcholish Madjid yang sempat tergiur mengikuti konvensi, meski pada akhirnya Cak Nur mundur teratur. Ungkapan populer atas mundurnya Cak Nur adalah "punya visi dan misi tapi tak punya gizi". Gizi di sini tentu saja materi alias uang.