Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KNTI dan LBH Minta KPK Usut Pelaku Lain yang Terlibat Korupsi Reklamasi

Kompas.com - 02/04/2016, 15:45 WIB
Robertus Belarminus

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut pelaku lain dalam kasus korupsi di proyek reklamasi di teluk Jakarta.

KNTI menduga masih ada pihak lain yang terlibat, baik swasta maupun di legislatif.

"Kami menduga ada keterlibatan anggota lain yang mungkin bisa ditelaah lebih dalam. Kami juga minta KPK periksa swasta lain yang terlibat," kata Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik dalam konferensi pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Sabtu (2/4/2016).

Tidak hanya pengembang reklamasi, pihaknya juga meminta KPK mengusut pihak-pihak yang terlibat dalam penyediaan bahan untuk reklamasi, seperti penyediaan pasir pantai.

"Penambangan pasir untuk reklamasi kami duga sarat manipulatif," ujar Riza.

Hal senada diungkapkan pengacara publik dari LBH Jakarta Muhammad Isnur. Ia meminta KPK ikut menelisik perusahaan lain yang terlibat dalam proyek reklamasi. Sebab, ada belasan perusahaan yang juga ikut mengembangkan reklamasi.

"KPK harus menyasar teliti dan kejar perusahaan lain. Apakah praktik ini menyasar perusahaan lain," ujar Isnur.

Pada Kamis (31/3/2016), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi. Sanusi kedapatan baru saja menerima suap Rp 1,14 miliar dari PT Agung Podomoro Land Tbk, salah satu pengembang yang terlibat dalam proyek reklamasi.

Pada konferensi pers Jumat (1/4/2016) petang, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan uang yang diberikan kepada Sanusi merupakan suap dalam pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (ZWP3K) dan Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis Pantai Utara Jakarta. (Baca: Presiden Direktur Agung Podomoro Land Resmi Ditahan KPK)

Raperda ZWP3K dan Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis Pantai Utara Jakarta memiliki keterkaitan dengan proyek reklamasi pembuatan 17 pulau buatan di Pantai Utara Jakarta. Di DPRD DKI, pengesahan dua raperda tersebut berlangsung alot.

Yang terbaru adalah pembatalan pengesahan Raperda ZWP3K pada Kamis (17/3/2016). Penyebabnya karena tak kuorumnya jumlah anggota DPRD yang hadir. Saat itu, jumlah anggota DPRD yang hadir dalam rapat paripurna hanya 50 orang. Padahal, jumlah keseluruhan anggota DPRD (termasuk para pimpinan) ada 106 orang.

Salah seorang anggota Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI dari Fraksi Golkar Ramli mengatakan, batalnya pengesahan Raperda ZWP3K disebabkan adanya perubahan pada salah satu pasal yang ada pada draf Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis Pantai Utara Jakarta.

Perubahan terjadi pada pasal yang mengatur mengenai kewajiban pengembang di lahan pulau reklamasi. Jika pada draf sebelumnya dinyatakan bahwa pengembang wajib menyerahkan minimal 15 persen lahan pulau buatannnya untuk fasos fasum, pada draf terbaru kewajiban pengembang hanya 5 persen. (Baca: Kuasa Hukum Sanusi Benarkan Kliennya Terima Suap)

Dari sejak pembatalan pengesahan Raperda ZWP3K hingga tertangkapnya Sanusi, tak diketahui pasti siapa yang mengubah pasal tersebut. Namun, akibat pembatalan Raperda ZWP3K, Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis Pantai Utara Jakarta jadi tidak bisa disahkan.

Kompas TV Ahok Lanjutkan Reklamasi Pantai Utara Jakarta
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

KPU Jaktim Buka Pendaftarab PPK dan PPS untuk Pilkada 2024, Ini Syarat dan Jadwal Seleksinya

KPU Jaktim Buka Pendaftarab PPK dan PPS untuk Pilkada 2024, Ini Syarat dan Jadwal Seleksinya

Megapolitan
NIK-nya Terancam Dinonaktifkan, 200-an Warga di Kelurahan Pasar Manggis Melapor

NIK-nya Terancam Dinonaktifkan, 200-an Warga di Kelurahan Pasar Manggis Melapor

Megapolitan
Pembunuh Wanita 'Open BO' di Pulau Pari Dikenal Sopan oleh Warga

Pembunuh Wanita "Open BO" di Pulau Pari Dikenal Sopan oleh Warga

Megapolitan
Pengamat: Tak Ada Perkembangan yang Fenomenal Selama PKS Berkuasa Belasan Tahun di Depok

Pengamat: Tak Ada Perkembangan yang Fenomenal Selama PKS Berkuasa Belasan Tahun di Depok

Megapolitan
“Liquid” Ganja yang Dipakai Chandrika Chika Cs Disebut Modus Baru Konsumsi Narkoba

“Liquid” Ganja yang Dipakai Chandrika Chika Cs Disebut Modus Baru Konsumsi Narkoba

Megapolitan
Chandrika Chika Cs Jalani Asesmen Selama 3,5 Jam di BNN Jaksel

Chandrika Chika Cs Jalani Asesmen Selama 3,5 Jam di BNN Jaksel

Megapolitan
DPRD dan Pemprov DKI Rapat Soal Anggaran di Puncak, Prasetyo: Kalau di Jakarta Sering Ilang-ilangan

DPRD dan Pemprov DKI Rapat Soal Anggaran di Puncak, Prasetyo: Kalau di Jakarta Sering Ilang-ilangan

Megapolitan
PDI-P Mulai Jaring Nama Buat Cagub DKI, Kriterianya Telah Ditetapkan

PDI-P Mulai Jaring Nama Buat Cagub DKI, Kriterianya Telah Ditetapkan

Megapolitan
DPRD dan Pemprov DKI Rapat di Puncak, Bahas Soal Kelurahan Dapat Anggaran 5 Persen dari APBD

DPRD dan Pemprov DKI Rapat di Puncak, Bahas Soal Kelurahan Dapat Anggaran 5 Persen dari APBD

Megapolitan
Anggaran Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI Disorot, Dinas Citata: Itu Masih Perencanaan

Anggaran Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI Disorot, Dinas Citata: Itu Masih Perencanaan

Megapolitan
Gerak Gerik NYP Sebelum Bunuh Wanita di Pulau Pari: Sempat Menyapa Warga

Gerak Gerik NYP Sebelum Bunuh Wanita di Pulau Pari: Sempat Menyapa Warga

Megapolitan
Tunggak Biaya Sewa, Warga Rusunawa Muara Baru Mengaku Dipersulit Urus Administrasi Akte Kelahiran

Tunggak Biaya Sewa, Warga Rusunawa Muara Baru Mengaku Dipersulit Urus Administrasi Akte Kelahiran

Megapolitan
Pedagang Bawang Pasar Senen Curhat: Harga Naik, Pembeli Sepi

Pedagang Bawang Pasar Senen Curhat: Harga Naik, Pembeli Sepi

Megapolitan
Baru Beraksi 2 Bulan, Maling di Tambora Curi 37 Motor

Baru Beraksi 2 Bulan, Maling di Tambora Curi 37 Motor

Megapolitan
'Otak' Sindikat Maling Motor di Tambora Ternyata Residivis

"Otak" Sindikat Maling Motor di Tambora Ternyata Residivis

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com