Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Alasan LBH Jakarta Nilai Izin Reklamasi yang Dikeluarkan Ahok Tidak Sah

Kompas.com - 05/04/2016, 05:40 WIB
Robertus Belarminus

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Surat Keputusan izin reklamasi yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pihak yang menggugat ialah Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dengan kuasa hukumnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

Pengacara publik dari LBH Jakarta, Tigor Hutapea mengatakan, ada empat izin reklamasi yang mereka gugat di PTUN, yakni izin reklamasi untuk Pulau G, F, I, dan K. Tigor menyatakan, dasar gugatan selain karena merugikan nelayan, pengeluaran izin tersebut juga mengangkangi runutan aturan reklamasi.

Aturan yang dikangkangi itu berdampak salah satunya analisis dan dampak lingkungan dari reklamasi. Tigor mengatakan, reklamasi harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

"Kalau kita mengikuti pada undang-undang ini, maka izin proses reklamasi harus ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)," kata Tigor, saat ditemui Kompas.com di kantor LBH Jakarta, Senin (4/4/2016).

Pada KLHS, sambung Tigor, kajian lingkungan dilakukan untuk melihat manfaat reklamasi, untuk pemanfaatan umum, konservasi, atau lainnya. Selesai KLHS ini menurutnya diajukan ke pemerintah. Tigor mengatakan, pemerintah nanti yang membuat peraturan zonasi wilayah pesisirnya.

"Nah setelah pengembang mau (dengan aturan zonasi), dia minta 'Izin Lokasi'. Baru dia menyusun tiga hal, pertama studi kelayakan amdal, kedua melakukan rencana induk, misalnya sebelum reklamasi apa, setelah reklamasi apa. Kemudian melakukan penyusunan rencana detail (reklamasi)," ujar Tigor.

Setelah tiga hal itu selesai disusun pengembang menurutnya membawa lagi ke pemerintah. Pemerintah, lanjutnya, akan melihat tiga hal yang disusun tadi sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan Izin Lokasi atau tidak.

"Untuk minta izin lokasi dilihat apakah apakah sesuai dengan KLHS atau peraturan zonasi. Kalau sesuai (keduanya), baru keluar Izin Pelaksanaan," ujar Tigor, yang juga ikut menangani perkara gugatan KNTI di PTUN tersebut.

Tapi, yang terjadi di Pemprov DKI soal reklamasi, lanjut Tigor, pemerintah daerah tak punya peraturan zonasi. Bahkan, peraturan itu baru akan di bahas dengan DPRD DKI.

"Permasalahan di Pemda peraturan zonasi kan belum ada ada. Tapi izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi sudah keluar. Nah ini yang menyalahi proses pelaksanaan reklamasi di teluk Jakarta. Bagaimana dampak kerugian nelayan? Apakah sudah melindungi nelayan dan lingkungan?" ujar Tigor.

Bersama Indonesia Center for Enviromental Law (ICEL), yang disebutnya tergabung dalam gugatan reklamasi ini, pihaknya mengklaim pernah menyurati Pemprov DKI untuk meminta soal kajian KLHS.

"KLHS kita minta enggak ada, enggak pernah diberi. Kita sudah pernah surati. Makanya SK izin reklamasi nya kami gugat, karena KLHS dan peraturan zonasinya tidak ada," ujar Tigor. (Baca: Mengapa Keppres No 52/1995 Tetap Dipakai sebagai Acuan Reklamasi Teluk Jakarta?)

Payung hukumnya sudah mati

Soal Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995, pihaknya menilai gubernur tidak tepat memakai dasar ini untuk mengeluarkan izin reklamasi. Pasalnya, keppres itu sudah diganti dengan keluarnya Perpres Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Puncak, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur.

Sehingga, kata Tigor, izin yang keluar dengan dasar Keppres 52 Tahun 1995, "hukumnya sudah mati".

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com