JAKARTA, KOMPAS.com - Abdul Hadi (35) hanya bisa termenung. Di balik kemudi, ia menyaksikan reklamasi pulau yang habis mencaplok perairan di Teluk Jakarta.
Nelayan Muara Angke ini sesekali menggelengkan kepala sambil berucap ketidakpercayaannya. Saat berada di dekat reklamasi Pulau C dan D, mata Abdul tajam. Bukan reklamasi yang ia lihat, melainkan laut di sekitarnya dilihat dengan tajam.
"Ikan-ikan dulu ngumpulnya di sini (tempat reklamasi). Ini surga bagi nelayan tradisional," kata Abdul saat berbincang dengan Kompas.com di atas perahu nelayan, Teluk Jakarta, Rabu (6/4/2016).
Berbagai macam ikan khas laut Jakarta ada di sekitar ini. Mulai dari ikan kembung, belanak, hingga kerang hijau ada di sekitar laut yang kini direklamasi menjadi pulau. Saat musim Barat, jumlah ikan pun melimpah.
Namun, sejak reklamasi, semua berubah. Abdul bercerita, biasanya dalam satu hari sebelum ada reklamasi, sekali melaut ia mendapat kurang lebih satu hingga dua kwintal ikan. Kini, pendapatan ikannya turun hingga 80 persen.
"Ditambah biaya nyari (melaut) berubah cukup besar. Kita tak bisa bernafas kalau begini," ungkap Abdul. (Baca: Nelayan Muara Angke Minta Presiden Batalkan Proyek Reklamasi)
Nelayan lainnya, Darmaji (56) bercerita, sebelumnya Teluk Jakarta adalah tempat ikan berkumpul. Setiap hari, ikan pasti didapat dalam jumlah besar jika nelayan pergi melaut. Ia meyakini, ikan yang sudah masuk Teluk Jakarta tak bisa lagi keluar. Sehingga nelayan mudah menangkap ikan.
"Jadi ikannya muter-muter saja di situ. Tiap hari pun saya pasti dapat banyak sebelum ada reklamasi ini," ungkap Darmaji.
Karena dianggap surga ikan, maka tak heran banyak nelayan dari daerah lain seperti Cirebon dan Tegal datang berburu ikan di Teluk Jakarta. Kini, pembangunan reklamasi pulau dianggap mematikan mata pencaharian nelayan.
Para kepala keluarga itu terpaksa gali lubang-tutup lubang hanya untuk menghidupi keluarga. (Baca: Pulau Reklamasi Teluk Jakarta yang "Untouchable")
Perwakilan Komunitas Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Muara Angke, Kuat, menyesalkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap nelayan tradisional. Sebab, hidup mereka bergantung pada laut yanh kini direklamasi.
"Mereka seperti dimatikan secara perlahan," ungkap Kuat.