JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa hukum M Sanusi, Krisna Murti, menyebut kliennya tidak memiliki wewenang dalam pembahasan rancangan peraturan daerah (raperda) Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir Pantai Utara dan revisi Perda Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Pantura Jakarta.
Sebab, M Sanusi disebut bukan anggota Balegda dan hanya diundang oleh rekan DPRD DKI Jakarta lainnya.
"Dalam pembahasan raperda oleh teman-teman DPRD, Bang Uci (Sanusi) diundang hanya menyangkut masalah teknis." (Baca: Beredar Surat Fraksi Gerindra DKI Masukkan Sanusi ke Balegda Sesaat Sebelum Pembahasan Raperda Reklamasi)
"Dia memang hadir dalam pertemuan tersebut, tapi kan saat bicara menyangkut raperda, Bang Uci keluar tidak ada dalam pembahasan itu," kata Krisna, pada acara Aiman Kompas TV, Senin (11/4/2016) malam.
Sanusi diketahui baru menjadi anggota Balegda DPRD DKI Jakarta mulai Oktober 2015 lalu. Ada pertukaran anggota Balegda yang memasukkan nama Sanusi dan Syarif. (Baca: Masuknya Sanusi dan Syarif dalam Balegda atas Permintaan Taufik)
Masuknya nama Syarif dan Sanusi menggantikan Taufik Hadiawan dan Rany Mauliani. Perintah ini sesuai surat keputusan DPRD DKI Jakarta Nomor 32 Tahun 2015 tentang perubahan ketiga atas keputusan DPRD Provinsi DKI Jakarta Nomor 34 Tahun 2014 tentang Susunan Pimpinan dan Anggota Badan Legislasi Daerah DPRD DKI Jakarta Masa Jabatan Tahun 2014-2019.
Namun, Krisna menyebut kliennya tidak mengerti apa-apa perihal pembahasan raperda oleh Balegda.
"Apa yang dibahas rancangan seperti apa, sama sekali enggak tahu. Di dalam BAP (berita acara pemeriksaan) reklamasi, klien kami menuangkan tata cara dan mekanisme pembahasan raperda, bahwa tata cara mekanisme pembahasan raperda harus melalui Bamus dan Balegda," kata Krisna.
Ketika rapat pembahasan raperda tersebut, Sanusi datang sebagai Ketua Komisi D atau bidang pembangunan.
Sanusi lebih banyak bicara mengenai teknis. Sebab, latar belakang dia yang juga seorang pengusaha atau pengembang.
Sehingga, ia mempertanyakan dugaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebut uang dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) Ariesman Widjaja kepada Sanusi sebagai suap untuk meloloskan rancangan dua perda tersebut.
"Saya jelaskan sekali lagi harus ada pembuktian. Kalau (pemberian uang) ini menyangkut masalah uang suap raperda atau reklamasi," kata Krisna.
Ariesman diduga menyuap Sanusi sebesar Rp 2 miliar melalui perantara secara bertahap, masing-masing Rp 1 miliar. Pemberian terakhir dilakukan di salah satu mal di Jakarta, yang berujung pada operasi tangkap tangan KPK.
Dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan Kamis (31/3/2016) itu, KPK menyita uang tunai sebesar Rp 1,14 miliar dari tangan Sanusi.
Kasus yang menjerat Ariesman dan Sanusi terkait dengan pembahasan Raperda Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir Pantai Utara dan revisi Perda Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Pantura Jakarta.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.