KOMPAS.com — Fenomena ini adalah sebuah ironi, tanggal 11 April 2016 adalah hari kemenangan bagi "Teman Ahok" karena berhasil mengumpulkan 532.000 data KTP sebagai syarat mencalonkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai gubernur melalui jalur perseorangan pada Pilkada 2017.
Namun, di sisi lain, di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara, ada ratusan warga kawasan Pasar Ikan, Kampung Luar Batang, menangis melihat rumah-rumah mereka dirobohkan oleh alat berat dan dihadang oleh 4.000 aparat keamanan.
Ironi ini semakin pekat karena Ahok salah satu ikon perubahan demokrasi lokal di Indonesia.
Warga memang tidak melakukan perlawanan keras seperti di Kampung Pulo tahun lalu. Sebagian mereka terlihat pasrah dengan opsi satu-satunya, yaitu relokasi ke beberapa rusun yang jauh dari tempat mereka tinggal sebelumnya.
Relokasi pun tidak sederhana karena mereka terburai ke pelbagai rusun, seperti Rusun Rawa Bebek, Marunda, Muara Kapuk, dan lain-lain. Mereka yang dulunya berkerabat kini terpisah-pisah akibat proyek perencanaan spasial yang belum tentu tidak komersial.
Pupus sudah ingatan masa kecil bersama.
Warga tidak berontak karena sudah melihat kaleidoskop penggurusan pada era Ahok. Tidak ada yang berhasil mempertahankan diri dari upaya penggusuran, sekeras atau sebanyak apa pun tenaga dan air mata.
Sebulan sebelum penggusuran kawasan Pasar Ikan, Jakarta Utara, kawasan Kalijodo berhasil rata dengan cepat. Saat itu, ada justifikasi yang sifatnya moralistik, yaitu memberantas pelacuran dan bisnis haram.
Gusuran pun mulus karena tokoh antagonis (Daeng Azis) berhasil ditangkap polisi sebelumnya.
Model teknokratis yang merampas
Pola penggusuran selama ini kerap memakai pendekatan struktural dan legalistik, sedangkan pendekatan kultural dan humanistik diabaikan. Jarang dihitung kerugian akibat model penggusuran (eufemisme: relokasi) seperti kerugian sosio-kultural masyarakat.
Sebelumnya, masyarakat nelayan Pasar Ikan, Kampung Luar Batang, memiliki ruang habituasi cukup diakrabi, kini teralienasi secara struktural dan gradual akibat politik relokasi.
Belum lagi kultur "rumah kotak" tersusun vertikal yang tidak pernah dipahami oleh warga gusuran kini menjadi takdir ke depan mereka.
Rumah susun atau apartemen adalah konstruksi kultural masyarakat urban yang tidak hidup dalam sistem mata pencaharian bersifat komunalistik.