JAKARTA, KOMPAS — Akses ke sejumlah halte transjakarta di jalur layang Ciledug-Kapten Pierre Tendean diyakini bakal menyulitkan pengguna. Dengan tinggi 20,7 meter dan lebar 1-1,5 meter, halte sulit dicapai calon penumpang bus, khususnya orang tua, anak-anak, dan penyandang disabilitas.
Proyek jalan layang ini memang belum selesai. Akan tetapi, hingga awal Juni, pembangunan fisik sudah mendekati utuh, antara lain tiang-tiang beton nyaris sudah tegak di sepanjang 9,3 kilometer koridor ini. Gelagar (box girder) juga sebagian telah terpasang menampakkan jalur jalan jauh di atas tanah.
Aktivitas pembangunan proyek jalan layang khusus untuk jalur transjakarta Koridor 13 ini antara lain terlihat di Jalan Wolter Monginsidi, Sabtu (4/6). Sejumlah pekerja tampak memasang pilar beton dan memindahkan material dengan kendaraan.
Sementara, berseberangan dengan Jalan Wolter Monginsidi, tepatnya di Jalan Trunojoyo, aktivitas proyek jalan layang transjakarta masih terhenti.
Pekerjaan jalan layang transjakarta di Jalan Trunojoyo terhenti akibat kekhawatiran jalan layang itu mengganggu mobilitas petugas kepolisian. Pihak-pihak terkait, baik dari kepolisian maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih mendiskusikan solusi masalah ini.
Di luar Trunojoyo, aktivitas proyek dipastikan terus berjalan. Ketinggian pilar beton yang telah didirikan di Jalan Wolter Monginsidi, misalnya, berkisar 8-10 meter. Pada ruas jalan ini, terdapat sejumlah balok beton yang sudah tersambung.
Pilar-pilar beton juga telah terbangun di sejumlah titik, seperti di Seskoal, Kebayoran Lama, dan Taman Puring. Beberapa alat berat tampak terus digunakan di lokasi-lokasi itu. Ketinggian pilar beton di sejumlah titik mencapai sekitar 20 meter, seperti di atas ITC Cipulir dan di atas jembatan Jalan Tol Lingkar Luar W2.
Jalan layang Ciledug-Kapten Pierre Tendean dibangun sepanjang 9,3 kilometer. Jalan yang direncanakan khusus untuk jalur transjakarta itu membentang dari Ciledug melalui Kebayoran Lama, Trunojoyo, hingga Tendean. Proyek terbagi dalam delapan segmen yang dikerjakan kontraktor berbeda di setiap segmen. Pengerjaan fisik ditargetkan rampung pada 2016.
Kegagalan infrastruktur
Namun, pengamat kebijakan transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Tory Damantoro, Jumat, menyatakan, pembangunan akses halte menunjukkan kegagalan perencanaan infrastruktur. Sebab, desainnya menyulitkan calon penumpang. Padahal, pembangunan jalan layang khusus transjakarta ini tujuan utamanya untuk menambah infrastruktur angkutan umum dan menjaring lebih banyak pengguna transportasi publik.
”Desainnya seolah hanya untuk orang muda dan sehat. Padahal, infrastruktur itu dibangun untuk meningkatkan jumlah pengguna dan mengintegrasikan dengan moda angkutan umum lain, khususnya MRT (angkutan massal cepat),” kata Tory.
Menurut Tory, rekomendasi atas desain akses menuju halte telah disampaikan sejumlah lembaga sejak dua tahun lalu, termasuk MTI dan Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ). Namun, masukan tidak diakomodasi dalam desain proyek pembangunan senilai Rp 2,5 triliun yang dimulai akhir 2014 itu.