JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta Sumarno menilai revisi undang-undang pemilihan kepala daerah (Pilkada) sebagai kemunduran untuk KPU. Dua poin dalam revisi yang dianggap memundurkan KPU terkait konsultasi pembuatan Peraturan KPU dan verifikasi faktual.
"Kalau dari sisi kemandirian KPU tadi, itu adalah kemunduruan. Bahkan lembaga KPU disebutkan dalam undang-umdang dasar bahwa lembaga netral dan tidak partisan dan sebagainya. Ini mengganggu independensi KPU," kata Sumarno dalam diskusi di Polemik Sindotrijaya FM, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (11/6/2016).
Sumarno menambahkan, dari sisi kemandirian, KPU mempersoalkan pasal 9B revisi Undang-Undang Pilkada.
Dalam revisi undang-undang tersebut, KPU perlu berkonsultasi dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam membuat Peraturan KPU. Hasil konsultasi itu bersifat mengikat.
(Baca: JPPR: Sebut KPU Pembangkang, DPR Tunjukkan Keangkuhannya)
Padahal dalam undang-undang sebelumnya, tak ada kata "mengikat" dari hasil konsultasi KPU dengan DPR dan pemerintah.
"Ini dianggap mengganggu independensi terkait konflik kepentingan dan intervensi," ucap Sumarno.
Sementara terkait verifikasi faktual calon perseorangan dianggap bermasalah. Ada pengetatan syarat calon perseorangan dalam revisi undang-undang pilkada. Pengetatan itu terkait batas waktu pendukung yang tidak dapat ditemui petugas verifikasi dari KPU.
(Baca: KPU Pertimbangkan Ajukan "Judicial Review" UU Pilkada ke MK)
Dalam undang-undang sebelumnya, pendukung calon perseorangan yang tidak dapat ditemui masih memiliki waktu hingga 14 hari batas akhir verifikasi faktual untuk mendatangi Panitia Pemungutan Suara (PPS).
"Sekarang dibatasi tiga hari. Kalau tiga hari yang bersangkutan tidak hadir, maka dukungan dinyatakan tidak memenuhi syarat," ucap Sumarno.