“Ulang tahun Jakarta 22 Juni 1527 ditemukan di tengah semangat besar pembebasan sejarah Indonesia dari sudut pandang kolonial. “Jauhi penyakit Hollands denken,” begitu pesan Walikota Sudiro pada awal 1956 ketika menugaskan guru besar sejarah di UI, Prof. Dr. Sukanto, mencari hari lahir Jakarta.
Mengapa pesan Walikota Sudiro itu perlu diungkit lagi?
Gampangnya karena ulang tahun Jakarta sudah dekat. Lebih jauh karena Gubernur Ahok dalam soal kawasan sejarah Pasar Ikan dan Luar Batang akhirnya berkonsultasi dengan pakar arkeologi.
Tetapi, sayangnya—selain sudah telat karena situs sejarah benteng Zeeburg dalam penggusuran Pasar Ikan yang lalu ikut digusur—Gubernur Ahok menggunakan hasil konsultasi itu untuk menyerang dan melegitimasi niatnya menggusur Luar Batang: “Pada era kolonial kawasan Luar Batang dijadikan gudang penyimpanan, jika ada gudang mana mungkin ada warga bermukim di sana.”
Celakanya pernyataan Gubernur Ahok itu keliru. Sebab menurut F. de Haan dalam Oud Batavia kampung Luar Batang oleh Kompeni dijadikan pemukiman yang menampung para nelayan dari Jawa Timur dan Cirebon yang disebut wetanger, orang-orang dari timur.
Kekeliruan ini memalukan sekaligus memberitahukan bahwa Gubernur Ahok menderita hongeroedem (busung lapar) sejarah. Gubernur tidak tahu sejarah paling elementer kotanya bahwa Luar Batang adalah kawasan yang menyatu dengan sejarah Sunda Kelapa, kota bandar yang jauh sebelum Belanda tiba sudah ada dan diacu sebagai cikal-bakal Jakarta.
Sebab itu pernyataan Gubernur Ahok mengandung kuman berbahaya yang bisa membangkitkan lagi penyakit sejarah paling mematikan, yaitu sejarah Indonesia sama dengan sejarah orang Belanda, tak terkecuali sejarah Jakarta.
Sejarah Jakarta hanya dimulai saat orang Belanda tiba dan membangun Batavia. Sebelum itu tidak ada sejarah Jakarta. Para sejarawan menyebutnya Neerlandosentris.
Cara pandang kolonial
Cara pandang sejarah yang berorientasi kolonial. Inilah yang disebut Sudiro sebagai penyakit Hollands denken, yaitu ungkapan tersohor pasca-kemerdekaan yang digunakan Sukarno untuk menunjuk kepada “pandangan yang cupet, cetek, sempit, dangkal dan bodoh”.
Ungkapan Hollands denken sering digandengkan dengan kleinburgelijk atau pandangan dunia seseorang yang bagai katak dalam tempurung. Pola pikir kleinburgelijk disampaikan secara sistematis melalui sekolah rendah dan menengah.
Dalam konteks sejarah, misalnya, yang diajarkan di kelas hanya sejarah Belanda, seperti pelajaran vaderlandsche geschiedenis dan geschiedenis van Netherlandch-Indie yang berisi sejarah peradaban Belanda, para pahlawannya dan bagaimana datang ke Nusantara seraya membangun koloni.
Sejarah itu kemudian ditransformasikan ke ruang-ruang publik melalui penamaan jalan dan taman di Batavia juga kota lainnya.
Tak aneh begitu Indonesia merdeka semangat mengganti sejarah gaya kolonial yang Neerlandosentris kepada yang berorientasi nasional atau Indonesiasentris menggema menyusul nama-nama jalan yang sebelumnya telah diubah.
Tokoh-tokoh sejarah Indonesia ditampilkan untuk mengganti nama-nama pahlawan kolonial yang dijadikan nama-nama jalan di Batavia. Nama jalan Jan Pieterzoon Coen menjadi jalan Sultan Agung yang adalah musuh bebuyutannya.