JAKARTA, KOMPAS.com — Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku senang jika permasalahan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang dibawa ke pengadilan. Pasalnya, berdasarkan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pengelola TPST Bantargebang, yaitu PT Godang Tua Jaya (GTJ) dan PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI), terbukti wanprestasi.
"Saya justru senang kalau masalah ini dibawa ke pengadilan. Nanti kalau (masalah) ini diangkat, permasalahan sampah di DKI, seru," kata Basuki, di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (24/6/2016).
Selain itu, lanjut dia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga akan menelusuri aliran dana penggunaan tipping fee (biaya pengangkutan sampah) dari Pemprov DKI Jakarta kepada PT GTJ.
Tiap tahunnya Pemprov DKI Jakarta menganggarkan tipping fee sebesar Rp 400 miliar untuk pengelolaan TPST Bantargebang. Namun, pengelola tak memenuhi kewajibannya dalam hal pembangunan fasilitas teknologi pengelolaan sampah dengan gasifikasi, landfill, dan anaerobic digestion.
"Itu tanah Bantargebang tanah kami, kamu mau main premanisme, saya juga bisa main kasar, orang itu tanah saya kok. Itu tanah kami, kami bayar Anda bertahun-tahun, Anda enggak bangun mesin, Anda dapat duit saja dong," kata Basuki.
Sebelumnya kuasa hukum PT GTJ, Yusril Ihza Mahendra, berencana menggugat Pemprov DKI Jakarta karena melayangkan surat peringatan ketiga. Pemprov DKI menerbitkan SP-3 kepada pengelola TPST Bantargebang pada Selasa (21/6/2016) lalu.
Penerbitan SP-3 dilakukan setelah audit perjanjian kerja sama dengan pengelola TPST Bantargebang selesai. Audit dilakukan oleh PriceWaterhouse Coopers, pihak yang ditunjuk secara resmi oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta.
Penunjukan auditor independen ini merupakan saran dari Badan Pemeriksa Keuangan RI. Salah satu bagian yang akan diaudit adalah mengenai kewajiban membangun gasification landfill anaerobic digestion (galfad). Hasil audit tersebut tetap menunjukkan pengelola TPST Bantargebang wanprestasi.