JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim Totok Sapti Indrato memutuskan mengabulkan permohonan ganti rugi korban salah tangkap pengamen Cipulir sebesar Rp 72 juta. Padahal, Andro Supriyanto (21) dan Nurdin Priyanto (26) mengajukan permohonan praperadilan agar negara mengganti rugi sebesar Rp 1 miliar.
"Menetapkan menolak eksepsi termohon dalam pokok perkaranya. Mengabulkan ganti rugi untuk sebagian. Memerintahkan negara dalam hal ini pemerintah membayar Rp 36 juta kepada pemohon 1 dan Rp 36 juta ke pemohon 2," kata Totok membacakan putusan, Selasa (9/8/2016).
Dalam ketatapannya, Hakim menggugurkan sebagian tuntutan ganti rugi dengan alasan tidak ada bukti. Rincian tuntutan ganti rugi terbagi menjadi materil dan immateril dengan Andro meminta ganti rugi materil Rp 75.440.000 dan immateril Rp 590.520.000.
Sedangkan Nurdin, meminta ganti rugi materil Rp 80.220.000 dan immateril Rp 410.000.000. Tuntutan materiil berisi ongkos dan biaya yang dikeluarkan keluarga mereka dari proses penyidikan hingga persidangan.
Namun, hakim hanya mengakui ganti rugi materiil terhadap kehilangan mata pencaharian mereka berdua sebagai pengamen, yaitu Rp 150.000 masing-masing per hari, selama delapan bulan ditahan. Adapun gugatan immateril tentang pencemaran nama baik serta luka fisik dan mental.
Totok juga menjelaskan bahwa pembayaran ganti rugi ini tidak dilakuka oleh instansi yang bersangkutan yaitu Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, melainkan oleh negara melalui Kementerian Keuangan.
Andro dan Nurdin merupakan korban salah tangkap dalam kasus pembunuhan Dicky Maulana, pengamen di Cipulir, Jakarta Selatan, pada 2013. Permohonan praperadilan diajukan setelah Mahkamah Agung menguatkan putusan bebas keduanya di tingkat banding pada tahun ini.
Andro dan Nurdin mengaku diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi pada saat penyidikan kasus yang menewaskan Dicky Maulana pada Juni 2013 silam. Keduanya dipaksa untuk mengaku sebagai pelaku pembunuhan dengan cara dianiaya oleh anggota Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Akhirnya, dua korban itu mengaku dan kemudian dilanjutkan proses hukumannya oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan keduanya bersalah dan dihukum tujuh tahun penjara. Namun di tingkat Pengadilan Tinggi, keduanya dinyatakan tak bersalah.