JAKARTA, KOMPAS.com--Musik, dari mana pun dan oleh siapa pun dimainkan, tetaplah menjadi media paling gampang dicerna oleh manusia. Musik menghidupi kata-kata, musik juga yang menghidupi ruang dan peristiwa. Itulah sebabnya, dengan latar belakang budaya macam apapun, musik bisa dikunyah dengan asyik bahkan oleh masyarakat yang memiliki budaya yang berbeda.
Maka tak heran kiranya masyarakat Jawa bisa juga menikmati musik perkusif dari Papua, Aceh, atau sebaliknya. Begitulah, musik menjadi bahasa ungkap paling akrab pada kehidupan manusia. Lantaran sedemikian dekatnya dengan manusia itulah, musik kerap dipakai sebagai media penyampai pesan, baik pesan cinta, pesan damai, bahkan pesan perang.
Pada Kamis malam, 18 Agustus 2016 Bentara Budaya Jakarta menampilkan kelompok musik yang memiliki perhatian pada tradisi Nusantara bernama Rudy Octave & Etno Psycho, yang mengusung judul pementasan "Archipelago Trip".
Semangat pementasan ini, menurut Rudy Octave, berangkat dari keprihatinan atas bahasa daerah yang mulai terpinggirkan. Diperkirakan, dari 726 daerah di Indonesia, hanya 10 persen yang bisa mempertahankan bahasa daerahnya. Selebihnya akan punah dilindas zaman.
Sejak masa kanak-kanak, di sekolah kita diajari Bahasa Indonesia serta bahasa asing, namun lalai mengajari kita bahasa daerah dengan baik, sehingga kita asing dengan bahasa ibu (daerah). Melalui seni musik itulah, Rudy Octave Etno Psycho melantunkan bahasa ibu dalam bahasa musik keinian.
Sesuai dengan tema perjalanan, konser ini memang membawakan lagu-lagu dari berbagai daerah di Nusantara Raya ini. Dibuka dengan lagu Sunda berjudul Bangbung Hideung dengan intro gendang jaipong yang rancak. Musik dengan rasa Sunda itu pun langsung mengantarkan penonton untuk berlayar mengarungi rasa musik dari sudut-sudut negeri, mulai dari Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Flores, Sulawesi Tengah, hingga Amerika Latin.
Male'en, lagu daerah Kalimantan Barat dibuka dengan petikan Sape dan bonang, mengingatkan kita pada hutan perawan di Borneo. Apalagi dibawakan oleh kelompok Laskar Dayak yang juga berkostum suku Dayak, lengkap dengan hiasan bulu-bulu rajawali di kepala mereka.
Zarro, musisi yang biasanya membawakan lagu-lagu jazz, kian menghidupkan suasana dengan lagu Tope Gugu dari Sulawesi Tengah. Zarro yang tampil ekspresif mampu membuat lagu daerah itu jadi penuh daya.
Demikian juga dengan penampilan Ivan Nestorman yang mendendangkan lagu Mogie yang kemudian didueti oleh Wilson Novoa, penyanyi dari Amerika Serikat, yang bernyanyi dalam bahasa Spanyol di tengah lagu. Usai membawakan lagu yang mendapat sambutan hangat dari penonton, Nestor melanjutkan dengan lagu Tonga (Flores).
Tampil kedua, Laskar Dayak mampu mengendalikan penonton untuk menirukan gerak dan lagu berjudul Ledang (Kalbar). Demikian juga Zarro yg tampil membawakan Jujuru Peti (Sulawesi Tengah).
Konser ditutup dengan nomor berbahasa Spanyol. Wilson membawakan lagu dari Amerika Latin berjudul Guajira. Lagu ini menyempurnakan konser dengan hadrinya semua pengisi acara di atas panggung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.