Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Pendapat Ahli soal Pencucian Uang yang Didakwakan kepada Sanusi?

Kompas.com - 22/11/2016, 09:00 WIB
Jessi Carina

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak pertanyaan dilontarkan jaksa, kuasa hukum, dan hakim kepada mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein, pada  persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Senin (21/11/2016). Yunus dijadikan saksi ahli dan ditanya tentang tindak pidana pencucian uang pada kasus yang menimpa Mohamad Sanusi, mantan anggota DPRD DKI Jakarta.

Jaksa bertanya kepada Yunus tentang jenis transaksi yang biasanya dilakukan untuk pencucian uang. Menurut Yunus, transaksi bisa disebut mencurigakan jika nominalnya jauh melebihi penghasilan pelaku transaksi tersebut.

"Gaji Rp 10 juta tapi transaksi di atas itu, ratusan juta, itu menyimpang. Kemudian menyimpang juga kalau misalnya laporan transaksi tunai Rp 500 juta, dia pecah-pecah," ujar Yunus.

"Tapi transaksi mencurigakan dengan TPPU (tindak pidana pencucian uang) itu hal berbeda," tambah Yunus.

Dalam kasus Sanusi, mantan ketua Komisi A DPRD DKI itu memang memiliki banyak aset yang nilainya lebih besar dari penghasilannya sebagai anggota Dewan. Menurut Yunus, adanya transaksi mencurigakan yang menunjukkan transaksi lebih besar dari penghasilan belum bisa langsung disimpulkan sebagai pencucian uang.

TPPU Sanusi tak punya pidana asal?

Hal lain yang juga dijelaskan Yunus dalam persidangan adalah tindakan pencucian uang harus memiliki pidana asal. Sumber uang yang dicuci harus berasal dari tindak kejahatan. Jika tidak ada pidana asal maka tidak ada tindakan pencucian uang.

Sanusi didakwa dengan dua dakwaan. Dia didakwa menerima suap untuk meloloskan raperda reklamasi. Dalam kasus itu dia tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Dakwaan kedua adalah dia melakukan pencucian uang.

Namun kasus pencucian uangnya memang di luar kasus suap itu. Kasus pencucian uang sebesar Rp 45 miliar diduga berkaitan dengan jabatan Sanusi di DPRD DKI.

Yunus mengatakan, OTT KPK tidak bisa dijadikan pidana asal TPPU. Yunus mengatakan operasi tangkap tangan biasanya sudah terlihat uangnya sehingga tidak ada pencucian uang.

Tindak pencucian uang pun harus berasal dari tindak korupsi yang lain. Dia pun menambahkan kasus TPPU dan pidana asalnya harus dinaikan dalam persidangan.

"Kalau bisa dua-duanya didakwakan ya silakan. Misalnya korupsi dan TPPU, tapi kalau di sini enggak mungkin OTT dengan TPPU," kata Yunus.

Namun, persidangan dua kasus itu tidak perlu berbarengan. Yunus mengatakan keputusan pencucian uang juga tidak perlu menunggu pembuktian pidana asal selesai terlebih dahulu.

Soal pembelian aset dengan nama orang lain

Selama ini, Sanusi diketahui membeli sejumlah aset dengan menggunakan nama orang lain. Aset-aset yang dibeli berupa tanah, bangunan, dan kendaraan bermotor.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polisi Masih Dalami Motif Oknum Sopir Grab Culik dan Peras Penumpang

Polisi Masih Dalami Motif Oknum Sopir Grab Culik dan Peras Penumpang

Megapolitan
Momen Peserta Sanlat Ekspresi Baznas Diminta “Push Up” Karena Ketiduran saat Ada Seminar

Momen Peserta Sanlat Ekspresi Baznas Diminta “Push Up” Karena Ketiduran saat Ada Seminar

Megapolitan
Polisi Amankan 1 Mobil sebagai Barang Bukti Kasus Pemerasan yang Dilakukan Sopir Grab

Polisi Amankan 1 Mobil sebagai Barang Bukti Kasus Pemerasan yang Dilakukan Sopir Grab

Megapolitan
Jadwal Buka Puasa di Tangerang Hari Ini, 29 Maret 2024

Jadwal Buka Puasa di Tangerang Hari Ini, 29 Maret 2024

Megapolitan
Jadwal Buka Puasa di Depok Hari Ini, Jumat 29 Maret 2024

Jadwal Buka Puasa di Depok Hari Ini, Jumat 29 Maret 2024

Megapolitan
Seorang Ibu Diduga Menipu, Jual Cerita Anak Sakit lalu Minta Uang Rp 300.000

Seorang Ibu Diduga Menipu, Jual Cerita Anak Sakit lalu Minta Uang Rp 300.000

Megapolitan
Polisi Tangkap Sopir Grab yang Culik dan Peras Penumpangnya Rp 100 Juta

Polisi Tangkap Sopir Grab yang Culik dan Peras Penumpangnya Rp 100 Juta

Megapolitan
Wanita Tewas Bersimbah Darah di Bogor, Korban Terkapar dan Ditutup Selimut

Wanita Tewas Bersimbah Darah di Bogor, Korban Terkapar dan Ditutup Selimut

Megapolitan
Ada Obeng di TKP, Diduga Jadi Alat Suami Bunuh Istri di Bogor

Ada Obeng di TKP, Diduga Jadi Alat Suami Bunuh Istri di Bogor

Megapolitan
Jadwal Buka Puasa di Kota Bekasi Hari Ini, Jumat, 29 Maret 2024

Jadwal Buka Puasa di Kota Bekasi Hari Ini, Jumat, 29 Maret 2024

Megapolitan
Diduga Korban Pelecehan Seksual oleh Eks Ketua DPD PSI Jakbar Mengaku Diintimidasi agar Tak Lapor Polisi

Diduga Korban Pelecehan Seksual oleh Eks Ketua DPD PSI Jakbar Mengaku Diintimidasi agar Tak Lapor Polisi

Megapolitan
Wanita Tewas Dibunuh Suaminya di Bogor, Pelaku Dilaporkan Ayah Kandung ke Polisi

Wanita Tewas Dibunuh Suaminya di Bogor, Pelaku Dilaporkan Ayah Kandung ke Polisi

Megapolitan
Latihan Selama 3 Bulan, OMK Katedral Jakarta Sukses Gelar Visualisasi Jalan Salib pada Perayaan Jumat Agung

Latihan Selama 3 Bulan, OMK Katedral Jakarta Sukses Gelar Visualisasi Jalan Salib pada Perayaan Jumat Agung

Megapolitan
Gelar Pesantren Kilat di Kapal Perang, Baznas RI Ajak Siswa SMA Punya Hobi Berzakat

Gelar Pesantren Kilat di Kapal Perang, Baznas RI Ajak Siswa SMA Punya Hobi Berzakat

Megapolitan
Cerita Ridwan 'Menyulap' Pelepah Pisang Kering Menjadi Kerajinan Tangan Bernilai Ekonomi

Cerita Ridwan "Menyulap" Pelepah Pisang Kering Menjadi Kerajinan Tangan Bernilai Ekonomi

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com