JAKARTA, KOMPAS.com — Jaksa penuntut umum bertanya kepada terdakwa kasus dugaan suap raperda reklamasi, Mohamad Sanusi, tentang apa yang terlintas di pikirannya setelah menerima uang dari mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja. Apakah Sanusi, yang saat ditangkap berstatus anggota DPRD DKI Jakarta itu, merasa uang tersebut berkaitan dengan raperda reklamasi yang sedang dibahas di DPRD DKI?
"Jujur, dalam hati saya, saya tebersit setelah saya ditangkap," kata Sanusi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (1/12/2016).
Sanusi lalu menceritakan pengalamannya ketika menjadi target operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hari itu, keponakannya yang juga asistennya, Gerry, memberi tahu bahwa dia sudah mendapatkan uang dari Ariesman. Uang tersebut diserahkan oleh asisten pribadi Ariesman, Trinanda, kepada Gerry.
Sanusi yang tidak merasa aneh dengan kabar itu awalnya ingin menyuruh Gerry ke rumahnya. Sanusi tahu bahwa uang yang diterima Gerry dari Ariesman adalah untuk modal bagi dirinya maju pada Pilkada 2017.
Namun, ketika itu Sanusi terjebak kemacetan lalu lintas, begitu pula dengan Gerry. Akhirnya pertemuan dipindah ke FX Mal di Jalan Sudirman. Sampai saat itu, Sanusi tidak pernah membayangkan bahwa uang tersebut dicurigai sebagai uang suap untuk meloloskan raperda reklamasi.
"Waktu Gerry masuk mobil, dia enggak masuk kursi depan, Pak. Dia masuk kursi belakang dan dia tengkurap sambil lempar tas," kata Sanusi.
"Saya tanya, kamu ada apa? Dia bilang kami diikuti. Baru di situ saya sadar ini terkait raperda tadi," tambah Sanusi.
Dalam persidangan, Sanusi kembali menegaskan bahwa uang Rp 2 miliar itu tidak terkait raperda. Dia mengaku meminta bantuan uang kepada Ariesman. Dia juga mengaku menerima uang tersebut dari Ariesman. Namun, uang itu bukan berkaitan dengan raperda reklamasi, apalagi untuk menyelipkan pasal-pasal yang menguntungkan pengembang.
"Karena raperda pantura reklamasi ini sangat teknis. Saya sendiri butuh ilmu banyak. Padahal, di sana juga ada 100 lebih pasal yang memberatkan para pengembang," kata Sanusi.