Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kaleidoskop 2016: Polemik Reklamasi di Teluk Jakarta

Kompas.com - 15/12/2016, 11:46 WIB
Kahfi Dirga Cahya

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Deru mesin dari sebuah kapal terdengar dari kejauhan. Suara itu kian jelas saat perahu kecil nelayan berjalan melintasi kapal tersebut. Aktivitas kapal tersebut tampak tak biasa. Di atas kapal ada sebuah mesin yang mengeluarkan pasir terus-menerus. Pasir itu ‘dimuntahkan’ ke daerah yang sudah tampak seperti pulau.

Sementara di atas pulau, alat-alat berat lalu lalang. Alat berat itu tampak mendorong pasir dan membentuk sedemikian rupa agar tersebar secara merata. Perahu nelayan tak bisa mendekat. Sekeliling lokasi itu merupakan area terbatas dan dijaga ketat oleh pihak keamanan yang berkeliling dengan perahu cepat. Kondisi itu merupakan gambaran kecil dari aktivitas salah satu dari 17 pulau reklamasi di Teluk Jakarta.

Proyek reklamasi menimbulkan pro dan kontra. Bagi nelayan, khususnya di Teluk Jakarta, reklamasi tak ubah seperti pintu gerbang kepahitan. Sebab, mereka merasa mata pencaharian sebagai nelayan terganggu. Ikan, kerang hingga biota laut di Teluk Jakarta disebut menghilang. Mata pencaharian mereka tergerus oleh pasir-pasir reklamasi.

Sementara bagi Pemprov DKI Jakarta, reklamasi yang sudah diwacanakan sejak tahun 1985 ini dinilai perlu dilakukan untuk mengatasi masalah lingkungan dan lahan di pantai utara Jakarta. Kawasan utara Jakarta dianggap memiliki lingkungan buruk akibat permasalahan banjir rob, sampah, limbah. Sehingga pada tahun 1995, pemerintah pusat menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Dalam Keppres itu, Gubernur DKI Jakarta memiliki wewenang untuk memberikan izin reklamasi.

Nelayan menggugat

Keputusan Gubernur DKI Jakarta saat itu Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi kepada sejumlah perusahaan digugat oleh nelayan. Pada 15 September 2015, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendaftarkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait pemberian izin reklamasi Pulau G di Jakarta Utara kepada PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha PT Agung Podomoro. Pemberian izin itu dilakukan pada 23 Desember 2014 oleh Ahok.

Pada 21 Januari 2016 kelompok nelayan didampingi lembaga bantuan hukum kembali menggugat SK Gubernur DKI Jakarta terkait pemberian izin reklamasi Pulau F, I, dan K ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Cakung, Jakarta Timur.

Tiga SK Gubernur DKI Jakarta yang digugat nelayan adalah SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan reklamasi Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo, SK Gubernur DKI Jakarta No 2269/ 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan reklamasi Pulau I kepada PT Jaladri Kartika Pakci, dan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2485/2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan reklamasi Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol. SK gubernur untuk izin reklamasi Pulau F dan I diterbitkan 22 Oktober 2015, sedangkan SK gubernur untuk Pulau K dikeluarkan 17 November 2015.

Menanggapi gugatan itu, Ahok justru senang. Ia beralasan sikap senangnya karena tak bisa membatalkan izin reklamasi di pantai utara Jakarta.

Penolakan Raperda reklamasi

Pada tahun 2015, DPRD DKI Jakarta membahas Rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K). Raperda RZWP3K mengatur tentang penataan ruang laut di Provinsi DKI Jakarta yang di dalamnya mengatur peruntukkan ruang laut dalam 4 kawasan, yaitu kawasan konservasi, kawasan pemanfaatan umum, kawasan strategi nasional tertentu dan alur laut.

Saat itu, Kepala Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta Darjamuni menyatakan, proyek reklamasi 17 pulau telah diatur dalam raperda tersendiri, yakni raperda tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Stategis Pantura Jakarta. Untuk mengawal Raperda tersebut, DPRD DKI Jakarta turut serta membuat panitia khusus (pansus) untuk zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Belakangan, pada Oktober 2015,  DPRD DKI Jakarta mempertimbangkan akan menggabungkan Raperda terkait reklamasi di perairan Teluk Jakarta dengan Raperda RZWP3K. Dengan demikian, revisi Perda nomor 8 Tahun 1995 tentang penyelenggaraan reklamasi dan rencana tata ruang pantura, digabung dengan Raperda tentang RZWP3K. Kedua peraturan tersebut adalah termasuk dalam 17 raperda yang dijadwalkan dibahas tahun 2015.

Pembahasan Raperda tersebut alot dan tak selesai pada tahun 2015. Lama tak terdengar, ternyata pengesahan Raperda DKI Jakarta tentang RZWP3K batal dilaksanakan. Penyebabnya, jumlah anggota Dewan yang hadir dalam Rapat Paripurna yang dilaksanakan di Gedung DPRD DKI pada Kamis (17/3/2016) tidak kuorum.

Dalam rapat tersebut, pimpinan sidang Wakil Ketua DPRD DKI Triwisaksana menyebutkan jumlah anggota Dewan yang hadir hanya 50 orang. Jumlah keseluruhan anggota DPRD DKI periode 2014-2019 sebanyak 106 orang.

Pembatalan pengesahan Raperda tentang RZWP3K disebut berdampak terhadap pembatalan satu Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis Pantai Utara Jakarta yang mengatur mengenai peruntukkan lahan di 17 pulau buatan reklamasi. Meski dua Raperda tersebut berbeda, namun keduanya dianggap memiliki hubungan satu sama lain. Pasalnya, pemetaan wilayah perairan yang diatur di Raperda tentang RZWP3K akan berpengaruh terhadap peruntukkan 17 pulau buatan di proyek reklamasi.

Salah satu anggota Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI dari Fraksi Golkar, Ramli, mengatakan, pembatalan pengesahan Raperda tentang RZWP3K diakibatkan adanya perubahan salah satu pasal pada Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis Pantai Utara Jakarta. Perubahan terjadi pada pasal yang mengatur mengenai kewajiban pengembang di lahan pulau reklamasi. Jika pada draf sebelumnya dinyatakan bahwa kewajiban pengembang minimal 15 persen, maka pada draf terbaru kewajiban pengembang hanya lima persen.

Sanusi dan Ariesman ditangkap KPK

Kabar mengejutkan datang setelah dua pekan batalnya pengesahan Raperda RZWP3K pada pertengahan Maret 2016. Mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (31/3/2016). Kabar itu pun kencang berhembus. Sejumlah kalangan, mulai dari DPRD DKI Jakarta hingga Pemprov DKI Jakarta tak mengetahui alasan penangkapan Sanusi. Baru pada Jumat (1/4/2016) sore, KPK menjelaskan bahwa Sanusi ditangkap terkait dugaan terima suap dari mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Widjaja.

KPK menjelaskan operasi tangkap tangan dilakukan usai Sanusi menerima uang dengan nilai total Rp 1.140.000.000. Uang suap yang diberikan kepada Sanusi terkait pembahasan Raperda tentang RZWP3K Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.

Belakangan diketahui bahwa penyuapan Ariesman kepada Sanusi untuk mengubah isi pasal kontribusi pengembang reklamasi. Pada 3 Maret 2016, Ariesman bertemu dengan Sanusi dan menyampaikan keberatan dengan kontribusi 15 persen. Ia berjanji akan memberikan uang Rp 2,5 miliar kepada Sanusi, apabila pasal kontribusi tambahan dimasukkan dalam pasal penjelasan dengan menggunakan konversi.

Sanusi kemudian mengubah rumusan penjelasan Pasal 110 ayat 5 yang semula "cukup jelas" menjadi "tambahan konstribusi adalah kontribusi yang dapat diambil di awal dengan mengkonversi dari kontribusi (yang 5 persen), yang akan diatur dengan perjanjian kerja sama antara Gubernur dan pengembang”. Perubahan itu pun dianggap tak wajar oleh Ahok.

Kasus ini pun membuat sejumlah nama mulai dari Ahok, anggota dewan DPRD DKI Jakarta, staf pribadi Ahok Sunny Widjaja hingga pejabat Pemprov DKI Jakarta ikut diperiksa oleh KPK dan bersaksi di persidangan.

Setelah menjalani persidangan, Ariesman Widjaja divonis tiga tahun penjara oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (1/9/2016). Selain pidana penjara, Ariesman juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. Ariesman dinilai melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Sementara Sanusi kini masih menjalani persidangan.

Dihentikan sementara

Penangkapan Sanusi dan Ariesman mengungkapkan ada patgulipat antara DPRD DKI Jakarta dengan pengembang soal reklamasi Teluk Jakarta. Terungkapnya kasus ini pun membuat perhatian publik kian besar terhadap reklamasi, tak terkecuali pejabat pemerintah pusat. Salah satu perhatian ditunjukkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Ia menyatakan bahwa pengembang reklamasi di Teluk Jakarta harus menyelesaikan izin-izin dari KKP. Sebelum ada izin tersebut, proyek reklamasi harus dihentikan dahulu.

Menanggapi pernyataan tersebut, Ahok mengaku sudah berkoordinasi dengan semua lembaga di pemerintah pusat, tak terkecuali dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta.

Bahkan dirinya menyebut, saat pihaknya mengajukan Raperda RZWP3K ke DPRD DKI, pihaknya terlebih dahulu berkoordinasi dengan Badan Perencana Pembangunan Nasional, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, dan Kementerian Koordinator Maritim.

Sementara itu, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak memiliki wewenang atas proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta. Argumen Pramono berdasarkan pasal 16 Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Menurut dia, reklamasi di pantai utara Teluk Jakarta bukan kewenangan Susi.

Pasal 16 perpres itu berbunyi, "Menteri memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategis Nasional Tertentu, kegiatan reklamasi lintas provinsi, dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh Pemerintah.”

Di sisi lain, Pramono juga meminta agar Ahok, Susi dan Menteri lingkungan hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya duduk bersama membahas reklamasi pantai utara Jakarta. Sebab, pemerintah tidak ingin reklamasi Jakarta menyalahi aturan yang ada.

Susi juga menyebut pengembang proyek reklamasi di Teluk Jakarta terancam sanksi oleh Kementerian lingkungan hidupdan Kehutanan. Pihak kementerian telah menurunkan tim investigasi yang bekerja sejak Jumat dan Sabtu (15-16 April) untuk menyelidiki apa pelanggaran yang dilakukan. Mekanisme sanksi, papar Siti, diatur di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup.

Adapun, obyek pelanggarannya meliputi tiga hal, mulai dari pencemaran lingkungan, kerusakan lingkungan dan keresahan sosial masyarakat.

Di sisi lain, Siti juga meminta proyek reklamasi di Teluk Jakarta dihentikan sementara hingga persoalan yang ada tuntas. Persoalan yang dimaksud Siti ialah payung hukum yang menaungi proyek reklamasi itu. Ia mengakui, ada tumpang tindih peraturan yang berakibat pada lolosnya reklamasi tanpa pengawasan pihak berwenang. Siti setuju keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Komisi IV DPR RI untuk menghentikan sementara proyek itu. Namun, Siti juga setuju dengan pernyataan Ahok yang meminta dokumen rekomendasi penghentian.

Pada akhirnya, pemerintah memutuskan untuk menghentikan sementara proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Keputusan dalam bentuk moratorium itu diambil dalam rapat antara Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli,  Siti Nurbaya, Ahok, serta jajaran Kementerian Kelautan dan Perikanan, Senin (18/4/2016).

Proyek reklamasi akan dihentikan sampai semua persyaratan dan perizinan sesuai yang diatur perundang-undangan terpenuhi. Langkah setelah penghentian reklamasi ini adalah membentuk joint committee yang melibatkan pejabat-pejabat dari Sekretariat Kabinet, Kemenko Kemaritiman, Kementerian lingkungan hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG Suasana proyek pembangunan reklamasi Teluk Jakarta di kawasan Pantai Utara, Jakarta Utara, Rabu (11/5/2016). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghentikan sementara proyek reklamasi Pulau C, D, dan G, lantaran dinilai melanggar izin dan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup.

Sanksi pengembang nakal

Ahok, Rizal Ramli, Siti Nurbaya dan Susi memutuskan untuk meninjau Pulau D, salah satu pulau reklamasi di Teluk Jakarta, Rabu (4/5/2016). Tinjauan ini dilakukan usai ada moratorium penghentian sementara reklamasi di Teluk Jakarta. Dalam kunjungan itu, Siti Nurbaya menyebut banyak permasalahan yang ditimbulkan akibat reklamasi Pulau C dan D di Teluk Jakarta.

Pengembang dinilai tidak mengkaji dampak lingkungan dengan baik. Contohnya, permasalahan ketersediaan air bersih, pengaruhnya terhadap kabel pipa bawah laut dan gas, dan lain-lain.Kemudian, pengembang juga tidak mengkaji keberatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Muara Karang dan Tanjung Priok. Kemudian, pengembang juga tidak mengkaji dampak limpasan sedimen terumbu karang. Dia menilai, pengembang juga tidak membangun pemisah antara pulau hasil reklamasi dan daratan dengan baik sehingga mempersempit ruang gerak nelayan untuk mencari ikan.

Ahok juga mengatakan bahwa Pulau C dan D tidak boleh menyambung. Ia meminta pulau reklamasi itu dibongkar untuk pembangunan kanal. Oleh karena itu, Kementerian LH dan Kehutanan akan memberi keputusan terkait koreksi amdal pada Rabu malam ini atau Senin (9/5/2016) mendatang.

Sementara itu, PT Kapuk Naga Indah selaku pengembang pulau reklamasi C dan D di utara Jakarta mengaku siap membayar denda pendirian bangunan tanpa izin. PT KNI mengaku izin IMB sudah diajukan pihaknya dua tahun lalu. Namun, hingga kini izin tersebut belum keluar. Selain itu, menurut dia, melaksanakan pembangunan sebelum keluarnya izin, lumrah dilakukan pengembang.

Padahal, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) belum ada sama sekali lantaran pembahasan dua Raperda terkait reklamasi dihentikan. PT KNI baru mengantongi izin pelaksanaan reklamasi.

"Siap bayar denda, namanya risiko" ujar Direktur III, PT KNI, Nono Sampono.

Pada Rabu (11/5/2016), Kementerian lingkungan hidup dan Kehutanan melakukan pemasangan plang penghentian sementara proyek reklamasi di Pulau C dan D. Pasalnya, PT Kapuk Naga Indah (KNI) selaku pengembang didapati melakukan pelanggaran terkait perundang-undangan mengenai lingkungan hidup.

PT KNI juga diwajibkan untuk memenuhi perizinan dokumen lingkungan yang diminta oleh pemerintah. Ridho menuturkan PT KNI juga harus membatalkan reklamasi Pulau E. Kementerian lingkungan hidup dan Kehutanan (LHK) juga turut memasang plang tersebut di Pulau G. PT Muara Wisesa selaku pengembang Pulau G diminta memenuhi kelengkapan dokumen terkait Amdal.

PTUN menangkan nelayan

Majelis hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan nelayan atas Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta kepada PT Muara Wisesa Samudra.

Putusan itu dibacakan Hakim Ketua Adhi Budhi Sulistyo dalam sidang putusan yang digelar di PTUN hari ini, Selasa (31/5/2016). Hakim juga memerintahkan agar tergugat menunda pelaksanaan keputusan Gubernur DKI Jakarta sampai berkekuatan hukum tetap.

PT WMS mengatakan keputusan hakim PTUN cukup mengagetkan bagi dunia usaha. Pasalnya keputusan itu tidak sejalan dengan upaya pemerintah menarik investor, baik dari dalam maupun luar negeri. Keputusan PTUN itu juga dinilai merupakan salah satu contoh ketidakpastian hukum yang mengganggu iklim investasi. Namun, PT MWS tetap menghormati keputusan tersebut. Selanjutnya, pihaknya menyatakan akan mengajukan langkah hukum dengan mengajukan banding atas putusan PTUN tersebut.

Sementara itu, Ahok mengatakan kemenangan nelayan di PTUN belum berkekuatan hukum tetap, sehingga tidak menjadi masalah baginya. Ahok juga menilai, proyek reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta tidak serta merta bisa dihentikan. Menurut dia, proyek reklamasi pulau tersebut masih bisa dilanjutkan oleh perusahaan lain.

TRIBUNNEWS / HERUDIN Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berbincang bersama Menko Maritim Rizal Ramli dan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar sebelum memulai rapat mengenai reklamasi teluk Jakarta, di kantor Menko Maritim, Senin (18/4/2016). Pada rapat tersebut diputuskan, pemerintah sepakat menghentikan sementara (moratorium) reklamasi Teluk Jakarta.

Ahok vs Rizal

Persoalan reklamasi membuat hubungan Ahok dan Rizal memanas. Salah satu puncak memanas terkait keputusan Rizal membatalkan pembangunan Pulau G di pantai utara Jakarta. Keputusan pembatalan seterusnya tersebut diambil dalam Rapat Koordinasi Menteri Koorinator Kemaritiman di Jakarta, Kamis (30/6).

Rizal Ramli mengatakan, keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan pelanggaran yang dilakukan pengembang dalam membuat Pulau G. pelanggaran berat tersebut dilakukan karena pembangunan pulau dilakukan di atas kabel listrik PLN yang berguna untuk penerangan Jakarta. Pelanggaran berat lainnya juga telah dilakukan pengembang Pulau G saat menutup dan mengganggu akses jalan nelayan. Lalu, pelanggaran berat lain yang dilakukan pengembang itu adalah, teknis pembangunan pulau yang dinilai pemerintah serampangan dan berpotensi mematikan biota laut.

Merespon keputusan itu, Ahok mempertanyakan kebijakan Rizal Ramli karena belum ada surat kepada Presiden Joko Widodo. Ahok bersikukuh menilai pembangunan pulau G sudah sesuai aturan. Terlebih, kata dia, sebelum diterbitkannya izin pada Desember 2014, sudah ada kajian yang melibatkan Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).

Sementara itu, CEO PT Muara Wisesa Samudra, Halim Kumala, menyatakan pihaknya belum menerima surat resmi terkait penghentian secara permanen proyek reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta. Halim menilai penghentian proyek tersebut hanya dilakukan secara sepihak. Halim pun menyayangkan pemerintah memberikan pernyataan bahwa proyek reklamasi di Pulau G dihentikan secara permanen tanpa membicarakannya dengan pengembang terlebih dahulu.

Ahok pun mengambil langkah lain. Ia bersurat kepada Jokowi pada 1 Juli 2016 terkait pembatalan Pulau G. Surat itu berisi pemaparan fakta-fakta mengenai perizinan yang diberikan kepada pengembang Pulau G, PT Muara Wisesa Samudera.

Menanggapi itu, Pramono Anung mengatakan, Presiden Jokowi akan menggelar rapat terbatas membahas surat Gubernur DKI Jakarta soal pembatalan reklamasi Pulau G, Teluk Jakarta. Sejumlah menteri terkait akan dipanggil untuk membahas hal tersebut, termasuk Rizal Ramli.

Sementara menunggu rapat terbatas itu, Rizal dan Ahok kian memanas. Rizal sempat mempertanyakan status Ahok sebagai gubernur DKI atau pengembang. Pasalnya, menurut Rizal, Ahok terlalu mempertahankan pengembang dalam proyek reklamasi. Menanggapi itu, Ahok pun hanya tertawa dan tak mau ambil pusing atas tudingan Rizal.

Belakangan, Presiden Joko Widodo, memutuskan untuk mencopot Rizal sebagai Menko Kemaritiman pada Rabu (27/7/2016). Posisi Rizal digantikan oleh Luhut Binsar Panjaitan. Menanggapi itu, Ahok mengaku tidak tahu alasan Rizal Ramli dicopot dari jabatannya. Namun, dia berpendapat alasan pencopotan Rizal bukan karena perbedaan pendapat dengan dirinya terkait reklamasi di Teluk Jakarta.

"Enak aja lu (Rizal Ramli) dicopot karena reklamasi," kata Basuki atau Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Rabu (27/7/2016).

Di tangan Luhut Binsar Pandjaitan

Setelah resmi menjabat sebagai Menko Kemaritiman, Luhut pun memegang kendali bola panas reklamasi. Sehari setelah menjabat, Luhut menempatkan persoalan reklamasi Teluk Jakarta sebagai salah satu fokusnya. Ia mengatakan akan segera melakukan evaluasi langsung di lapangan dan mempelajari persoalan tersebut dari aspek hukumnya. Kendati demikian, Luhut menegaskan belum bisa memberikan keterangan. Dia akan meneliti secara cermat, jangan sampai keputusan yang dia buat merugikan pihak investor maupun masyarakat.

Keesokan harinya, Jumat (29/7/2016), Luhut dipanggil Presiden Joko Widodo ke Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.Seusai pertemuan, Luhut yang baru menjabat selama dua hari ini mengaku diberi arahan mengenai hal-hal seputar dunia maritim. Luhut mengakui, salah satu dari 15 poin arahan yang diberikan Presiden itu adalah terkait reklamasi Pulau G di pantai utara, Jakarta. Luhut enggan menyebutkan secara spesifik arahan yang diberikan Presiden. Namun, ia mengaku akan segera membicarakan masalah reklamasi ini dengan stafnya di Kemenko Kemaritiman.

Pada hari yang sama Ahok juga menemui Luhut. Namun Ahok membantah bila pertemuannya membicarakan soal reklamasi. Menurut dia, pembicaraan dengan Luhut seputar Pilkada DKI Jakarta 2017.

Dua bulan setelah menjabat sebagai Menko Kemaritiman, (7/9/2016), Luhut memastikan proyek reklamasi Teluk Jakarta tidak masalah. Dari laporan yang diterima, reklamasi bisa diatasi. Ia mengaku masih akan melakukan evaluasi tambahan dalam beberapa hari ke depan.

Beberapa hari setelah itu, (13/9/2016), Ahok dan Luhut kembali bertemu. Kini, hasil pertemuan keduanya menghasilkan keputusan bahwa proyek reklamasi di Teluk Jakarta tetap dilanjutkan. Keputusan itu menganulir keputusan tiga menteri sebelumnya yang menyatakan membatalkan proyek reklamasi.

Luhut mengatakan, keputusan itu didasarkan pada sejumlah kajian, baik oleh Kementerian lingkungan hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ia juga mengaku bahwa pembicaraan dengan pengembang, PT PLN (Persero) dan sejumlah pihak terkait telah dilakukan

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Perahu nelayan ditambatkan di tanah hasil reklamasi di kawasan Teluk Jakarta, Jakarta Utara, Senin (4/4/2016). Dugaan penyuapan terkait rancangan perda reklamasi di Teluk Jakarta semakin mengukuhkan proyek ini hanya berperspektif ekonomi. Aspek lingkungan dan sosial tidak menjadi arus utama, bahkan cenderung diabaikan.

Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan kini bahwa pelanggaran yang terjadi terkait reklamasi Pulau G bisa diatasi. Pelanggaran tersebut di antaranya pembangunan yang dilakukan di atas kabel PLN dan keberadaan pulau yang mengganggu lalu lintas kapal. Berdasarkan Kajian terbaru dari Kementerian LHK menyebutkan bahwa harus dilakukan pemotongan pulau agar keberadaan Pulau G tidak mengganggu lalu lintas kapal.

Sementara itu, Ahok mengatakan akan membangun rumah susun untuk nelayan di Teluk Jakarta. Ahok menuturkan, pembangunan rusun itu akan menggunakan uang kompensasi dari pengembang yang melaksanakan proyek reklamasi. Masterplan rusun tersebut pun sudah ada sejak Joko Widodo masih menjabat sebagai gubernur DKI.

Keputusan melanjutkan reklamasi pun mendapat pertentangan dalam sejumlah pihak. Salah satunya adalah Wahana lingkungan hidup (Walhi).

Menurut Direktur Eksekutif Walhi, Nur Hidayati langkah pemerintah yang melanjutkan proyek reklamasi di Pulau G, Teluk Jakarta, seperti meruntuhkan wibawa pemerintah di mata korporasi. Walhi menyesalkan kebijakan Luhut Binsar Panjaitan yang melanjutkan proyek reklamasi, sebab kebijakan itu dianggap melanggar hukum.

Menurut dia, PTUN, sebelumnya telah memutuskan bahwa proyek reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta ditunda sampai berkekuatan hukum tetap dengan pertimbangan banyaknya perundang-undangan yang dilanggar. Jika pemerintah tetap melanjutkan proyek reklamasi dan melanggar putusan PTUN, Walhi khawatir korporasi akan memandang pemerintah "sebelah mata”.

Kendati demikian, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Sumarsono pada Selasa (6/12/2016), menyebut, reklamasi Teluk Jakarta akan tetap dilanjutkan. Bahkan, DPRD DKI Jakarta dan Pemprov DKI Jakarta sepakat kembali membahas Raperda tentang RZWP3K serta Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Sebelumnya, pembahasan sempat terhenti karena dugaan kasus suap yang dilakukan oleh mantan anggota DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi, kepada pengembang reklamasi. Saat ini, penerbitan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) tengah berproses.

Kompas TV Reklamasi Dihentikan, Ahok Mengacu pada Keppres
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Rekam Jejak Chandrika Chika di Dunia Hiburan: Dari Joget 'Papi Chulo' hingga Terjerat Narkoba

Rekam Jejak Chandrika Chika di Dunia Hiburan: Dari Joget "Papi Chulo" hingga Terjerat Narkoba

Megapolitan
Remaja Perempuan Tanpa Identitas Tewas di RSUD Kebayoran Baru, Diduga Dicekoki Narkotika

Remaja Perempuan Tanpa Identitas Tewas di RSUD Kebayoran Baru, Diduga Dicekoki Narkotika

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Pedagang di Pasar Induk Kramatjati Buang Puluhan Ton Pepaya | Tante di Tangerang Bunuh Keponakannya

[POPULER JABODETABEK] Pedagang di Pasar Induk Kramatjati Buang Puluhan Ton Pepaya | Tante di Tangerang Bunuh Keponakannya

Megapolitan
Rute Mikrotrans JAK98 Kampung Rambutan-Munjul

Rute Mikrotrans JAK98 Kampung Rambutan-Munjul

Megapolitan
Bisakah Beli Tiket Masuk Ancol On The Spot?

Bisakah Beli Tiket Masuk Ancol On The Spot?

Megapolitan
Keseharian Galihloss di Mata Tetangga, Kerap Buat Konten untuk Bantu Perekonomian Keluarga

Keseharian Galihloss di Mata Tetangga, Kerap Buat Konten untuk Bantu Perekonomian Keluarga

Megapolitan
Kajari Jaksel Harap Banyak Masyarakat Ikut Lelang Rubicon Mario Dandy

Kajari Jaksel Harap Banyak Masyarakat Ikut Lelang Rubicon Mario Dandy

Megapolitan
Datang Posko Pengaduan Penonaktifkan NIK di Petamburan, Wisit Lapor Anak Bungsunya Tak Terdaftar

Datang Posko Pengaduan Penonaktifkan NIK di Petamburan, Wisit Lapor Anak Bungsunya Tak Terdaftar

Megapolitan
Dibacok Begal, Pelajar SMP di Depok Alami Luka di Punggung

Dibacok Begal, Pelajar SMP di Depok Alami Luka di Punggung

Megapolitan
Ketua DPRD DKI Kritik Kinerja Pj Gubernur, Heru Budi Disebut Belum Bisa Tanggulangi Banjir dan Macet

Ketua DPRD DKI Kritik Kinerja Pj Gubernur, Heru Budi Disebut Belum Bisa Tanggulangi Banjir dan Macet

Megapolitan
Rampas Ponsel, Begal di Depok Bacok Bocah SMP

Rampas Ponsel, Begal di Depok Bacok Bocah SMP

Megapolitan
“Semoga Prabowo-Gibran Lebih Bagus, Jangan Kayak yang Sudah”

“Semoga Prabowo-Gibran Lebih Bagus, Jangan Kayak yang Sudah”

Megapolitan
Ketua DPRD: Jakarta Globalnya di Mana? Dekat Istana Masih Ada Daerah Kumuh

Ketua DPRD: Jakarta Globalnya di Mana? Dekat Istana Masih Ada Daerah Kumuh

Megapolitan
Gerindra dan PKB Sepakat Berkoalisi di Pilkada Bogor 2024

Gerindra dan PKB Sepakat Berkoalisi di Pilkada Bogor 2024

Megapolitan
Anggaran Kelurahan di DKJ 5 Persen dari APBD, F-PKS: Kualitas Pelayanan Harus Naik

Anggaran Kelurahan di DKJ 5 Persen dari APBD, F-PKS: Kualitas Pelayanan Harus Naik

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com