JAKARTA, KOMPAS.com - Panitia pengawas pemilu (panwaslu) Kelurahan Kembangan Utara, Murtam Antoni, mengaku tidak mengenal terdakwa Naman Sanip (52) dan sekelompok massa yang menghadang calon wakil gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, di Kembangan Utara, Jakarta Barat, pada 9 November 2016.
Murtam menyampaikan hal tersebut saat memberikan keterangan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jalan Letjen S Parman, Jumat (16/12/2016).
"Tidak ada yang saya kenal," ujar Murtam.
Menurut Murtam, sekelompok penghadang Djarot itu membawa spanduk penolakan terhadap Ahok-Djarot. Dalam spanduk tersebut tertulis Kampung Bugis.
"Saya hanya melihat spanduk Kampung Bugis, Kembangan. Itu adanya di Kembangan Selatan kalau saya lihat berdasarkan spanduk," kata dia.
Murtam menuturkan, saat itu dia bertugas mengawasi jalannya kampanye Djarot. Dia sudah menerima jadwal kampanye cawagub nomor pemilihan dua itu sebelumnya.
Koordinator Divisi Hukum dan Penindakan Pelanggaran Bawaslu DKI Jakarta, Muhammad Jufri, menuturkan, jadwal kampanye Djarot itu sudah didaftarkan ke KPU DKI, Bawaslu DKI, dan Polda Metro Jaya.
Jadwal kampanye tersebut juga menjadi salah satu bukti dalam dugaan kasus tindak pidana pemilu itu.
"Itu kan jadwalnya itu runut dia, Kembangan Utara, Kembangan Selatan, gitu ya, runut. Jadi dia melakukan blusukan itu ke kelurahan satu, kelurahan dua, kelurahan tiga. Tapi belum sampai di kelurahan terakhir itu sudah ada penghalangan," tutur Jufri seusai persidangan.
Meski ada sekelompok massa yang menghadang Djarot, hanya Naman yang menjadi terdakwa. Sebabnya, hanya dia yang dilaporkan tim sukses Ahok-Djarot. Adapun Naman didakwa melanggar Pasal 187 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dalam Pasal 187 Ayat 4 disebutkan, tiap orang yang menghalangi jalannya kampanye dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000 atau paling banyak Rp 6 juta.