JAKARTA, KOMPAS.com - Sejarawan JJ Rizal menilai kesulitan mendapat air bersih gratis di Jakarta kini sangat kontras dengan kondisi masyarakat Betawi tempo dulu. Menurut Rizal, masyarakat Jakarta dulu bisa dengan mudah mendapat air bersih dari sungai-sungai yang mengalir di Jakarta.
Rizal menuturkan, dulu, masyarakat Betawi juga banyak yang membangun permukiman di sepanjang bantaran sungai. Dia menyebut permukiman itu dikenal dengan nama kobakan.
"Di kobakan inilah orang Betawi hidup di antara 13 sungai," kata Rizal, saat hadir dalam diskusi “Membongkar Solusi Palsu Salah Urus Air Jakarta” di Kantor LBH Jakarta, Selasa (21/3/2017).
Menurut Rizal, kehidupan masyarakat Betawi di dekat sungai itu yang kemudian membuat mereka sangat memahami kehidupan buaya.
"Kenapa roti buaya memiliki posisi yang paling penting? Satu, karena buaya simbol kesetiaan. Buaya hanya kawin sekali sama satu buaya, enggak ama buaya-buaya yang lain. Dari mana orang Betawi tahu? Karena secara geografis orang Betawi merupakan masyarakat sungai," ujar Rizal.
Rizal menyebut sungai kehilangan peran penting bagi masyarakat Betawi setelah kedatangan Belanda. Terutama saat Belanda mulai mempusatkan pembangunan di Weltevreden, kini disebut Gambir.
Saat itulah, sungai-sungai di Jakarta tak lagi jadi sumber penghidupan.
"Sejak itulah air jadi enggak penting, jadi enggak terurus. Mulai dibangun jaringan pipa air di Jakarta. Ada yang dapat air, ada yang enggak," ucap Rizal.
Sejak 1997 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui PT Perusahaan Air Minum Jaya (PAM Jaya) melakukan kerja sama dengan dua perusahaan asing swasta untuk mengelola air di Ibu Kota. Keduanya adalah Palyja dan Aetra.
Palyja mengelola air untuk wilayah Jakarta bagian Barat, sedangkan Aetra Air Jakarta ditunjuk untuk mengelola air di wilayah Jakarta bagian Timur.
Batas pengelolaan air oleh kedua perusahaan itu adalah Sungai Ciliwung. Namun pada 2013, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) yang terdiri dari LBH Jakarta, ICW, Kiara, Kruha, Solidaritas Perempuan, Koalisi Anti Utang, Walhi Jakarta dan beberapa LSM lainnya mengajukan gugatan ke pengadilan terkait pengelolaan air bersih di Jakarta oleh perusahaan swasta.
Pada 25 Maret 2015, majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan KMMSAJ. Namun, pemerintah kemudian mengajukan banding terhadap Pengadilan Tinggi.
Saat ini, proses gugatan yang diajukan KMMSAJ masih menunggu putusan akhir di Mahkamah Agung. Hampir dua tahun pasca-putusan majelis hakim di PN Jakarta Pusat, KMMSAJ menyatakan bahwa mereka masih menunggu putusan MA sampai dengan saat ini. KMMSAJ berharap MA menolak banding yang diajukan pemerintah.
"Memang di Jakarta air dibuat jadi bisnis. Tapi MA harus melindungi hak-hak warga untuk mendapatkan air bersih sesuai yang diatur undang-undang," kata anggota KMMSAJ, Muhammad Reza.