Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sepenggal Cerita soal Roti Buaya dan Air Bersih di Jakarta

Kompas.com - 21/03/2017, 17:36 WIB
Alsadad Rudi

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com -
Sejarawan JJ Rizal menilai kesulitan mendapat air bersih gratis di Jakarta kini sangat kontras dengan kondisi masyarakat Betawi tempo dulu. Menurut Rizal, masyarakat Jakarta dulu bisa dengan mudah mendapat air bersih dari sungai-sungai yang mengalir di Jakarta.

Rizal menuturkan, dulu, masyarakat Betawi juga banyak yang membangun permukiman di sepanjang bantaran sungai. Dia menyebut permukiman itu dikenal dengan nama kobakan.

"Di kobakan inilah orang Betawi hidup di antara 13 sungai," kata Rizal, saat hadir dalam diskusi “Membongkar Solusi Palsu Salah Urus Air Jakarta” di Kantor LBH Jakarta, Selasa (21/3/2017).

Menurut Rizal, kehidupan masyarakat Betawi di dekat sungai itu yang kemudian membuat mereka sangat memahami kehidupan buaya.

"Kenapa roti buaya memiliki posisi yang paling penting? Satu, karena buaya simbol kesetiaan. Buaya hanya kawin sekali sama satu buaya, enggak ama buaya-buaya yang lain. Dari mana orang Betawi tahu? Karena secara geografis orang Betawi merupakan masyarakat sungai," ujar Rizal.

Rizal menyebut sungai kehilangan peran penting bagi masyarakat Betawi setelah kedatangan Belanda. Terutama saat Belanda mulai mempusatkan pembangunan di Weltevreden, kini disebut Gambir.

Saat itulah, sungai-sungai di Jakarta tak lagi jadi sumber penghidupan.

"Sejak itulah air jadi enggak penting, jadi enggak terurus. Mulai dibangun jaringan pipa air di Jakarta. Ada yang dapat air, ada yang enggak," ucap Rizal.

Sejak 1997 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui PT Perusahaan Air Minum Jaya (PAM Jaya) melakukan kerja sama dengan dua perusahaan asing swasta untuk mengelola air di Ibu Kota. Keduanya adalah Palyja dan Aetra.

Palyja mengelola air untuk wilayah Jakarta bagian Barat, sedangkan Aetra Air Jakarta ditunjuk untuk mengelola air di wilayah Jakarta bagian Timur.

Batas pengelolaan air oleh kedua perusahaan itu adalah Sungai Ciliwung. Namun pada 2013, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) yang terdiri dari LBH Jakarta, ICW, Kiara, Kruha, Solidaritas Perempuan, Koalisi Anti Utang, Walhi Jakarta dan beberapa LSM lainnya mengajukan gugatan ke pengadilan terkait pengelolaan air bersih di Jakarta oleh perusahaan swasta.

Pada 25 Maret 2015, majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan KMMSAJ. Namun, pemerintah kemudian mengajukan banding terhadap Pengadilan Tinggi.

Saat ini, proses gugatan yang diajukan KMMSAJ masih menunggu putusan akhir di Mahkamah Agung. Hampir dua tahun pasca-putusan majelis hakim di PN Jakarta Pusat, KMMSAJ menyatakan bahwa mereka masih menunggu putusan MA sampai dengan saat ini. KMMSAJ berharap MA menolak banding yang diajukan pemerintah.

"Memang di Jakarta air dibuat jadi bisnis. Tapi MA harus melindungi hak-hak warga untuk mendapatkan air bersih sesuai yang diatur undang-undang," kata anggota KMMSAJ, Muhammad Reza.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Siswa SMP di Palmerah Ditemukan Gantung Diri di Kamarnya

Siswa SMP di Palmerah Ditemukan Gantung Diri di Kamarnya

Megapolitan
Selain Gerindra, Sekretaris Pribadi Iriana Jokowi Juga Mendaftar Calon Wali Kota Bogor Lewat PDI-P

Selain Gerindra, Sekretaris Pribadi Iriana Jokowi Juga Mendaftar Calon Wali Kota Bogor Lewat PDI-P

Megapolitan
Keluarga Pemilik Toko Bingkai 'Saudara Frame' yang Kebakaran Dikenal Dermawan

Keluarga Pemilik Toko Bingkai "Saudara Frame" yang Kebakaran Dikenal Dermawan

Megapolitan
Ratusan Orang Tertipu Beasiswa S3 di Filipina, Percaya karena Pelaku Pernah Berangkatkan Mahasiswa

Ratusan Orang Tertipu Beasiswa S3 di Filipina, Percaya karena Pelaku Pernah Berangkatkan Mahasiswa

Megapolitan
 Aksi Lempar Botol Warnai Unjuk Rasa di Patung Kuda

Aksi Lempar Botol Warnai Unjuk Rasa di Patung Kuda

Megapolitan
Polisi Belum Bisa Pastikan 7 Korban Kebakaran 'Saudara Frame' Satu Keluarga atau Bukan

Polisi Belum Bisa Pastikan 7 Korban Kebakaran "Saudara Frame" Satu Keluarga atau Bukan

Megapolitan
Demo di Depan Kedubes AS, Koalisi Musisi Bersama Kontras Tuntut Kemerdekaan Palestina

Demo di Depan Kedubes AS, Koalisi Musisi Bersama Kontras Tuntut Kemerdekaan Palestina

Megapolitan
Massa Gelar Demo di Patung Kuda, Tuntut MK Adil Terkait Hasil Pemilu 2024

Massa Gelar Demo di Patung Kuda, Tuntut MK Adil Terkait Hasil Pemilu 2024

Megapolitan
Ada Demo di Patung Kuda, Arus Lalin Menuju Harmoni via Jalan Medan Merdeka Barat Dialihkan

Ada Demo di Patung Kuda, Arus Lalin Menuju Harmoni via Jalan Medan Merdeka Barat Dialihkan

Megapolitan
Ini Daftar Identitas Korban Kebakaran 'Saudara Frame'

Ini Daftar Identitas Korban Kebakaran "Saudara Frame"

Megapolitan
Acungi Jempol Perekam Sopir Fortuner Arogan yang Mengaku TNI, Pakar: Penyintas yang Berani Melawan Inferioritas

Acungi Jempol Perekam Sopir Fortuner Arogan yang Mengaku TNI, Pakar: Penyintas yang Berani Melawan Inferioritas

Megapolitan
Fraksi PKS DKI Nilai Penonaktifan NIK Warga Jakarta yang Tinggal di Daerah Lain Tak Adil

Fraksi PKS DKI Nilai Penonaktifan NIK Warga Jakarta yang Tinggal di Daerah Lain Tak Adil

Megapolitan
Identitas 7 Korban Kebakaran 'Saudara Frame' Belum Diketahui

Identitas 7 Korban Kebakaran "Saudara Frame" Belum Diketahui

Megapolitan
Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI Telan Anggaran Rp 22 Miliar, untuk Interior hingga Kebutuhan Protokoler

Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI Telan Anggaran Rp 22 Miliar, untuk Interior hingga Kebutuhan Protokoler

Megapolitan
144 Kebakaran Terjadi di Jakarta Selama Ramadhan 2024, Paling Banyak karena Korsleting

144 Kebakaran Terjadi di Jakarta Selama Ramadhan 2024, Paling Banyak karena Korsleting

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com