Beberapa waktu yang lalu, lembaga survei politik Median merilis hasil survei terkait Pilkada DKI berjudul "Paradoks Perilaku Pemilih Pilgub DKI 2017: Adu Kuat Pemilih Rasional dan Pemilih Emosional".
Dalam survei tersebut, peneliti mengelompokkan pemilih ke dalam dua golongan, pemilih rasional dan pemilih emosional. Dalam menentukan pemilih mana yang tergolong rasional dan emosional, peneliti menggunakan beberapa set pertanyaan yang dikaitkan oleh peneliti dengan rasionalitas dan emosionalitas.
Rasionalitas didefinisikan oleh pertanyaan apakah responden melihat kemampuan kandidat membenahi kota, memiliki program kerja paling bagus, serta paling dianggap berpengalaman. Peneliti juga mengaitkan pertanyaan di atas dengan tingkat kepuasan responden terhadap kinerja petahana.
Emosionalitas pada sisi yang lain dikaitkan dengan responden melihat agama calon serta sosok kandidat. Penilaian sosok ini meliputi kesantunan, kewibawaan, kepedulian yang ditunjukkan kandidat. Peneliti juga menunjukkan adanya kandidat yang tidak dipilih responden karena gaya bicaranya.
Pengelompokan pemilih berdasarkan kriteria di atas seakan mengatakan bahwa ada pemilih rasional dan ada pemilih emosional. Pemilih yang rasional tidak emosional dan pemilih yang emosional tidak rasional. Peneliti mengarahkan rasionalitas ke salah satu paslon dan emosionalitas ke paslon lainnya.
Peneliti juga menggunakan kata paradoks ketika tidak mampu menjelaskan kenapa kandidat yang dipilih secara rasional memperoleh suara lebih rendah daripada kandidat yang dipilih secara emosional.
Seolah-olah pilihan rasional berada pada posisi lebih tinggi daripada pilihan emosional. Padahal baik rasionalitas dan emosionalitas dibuat berdasarkan definisi yang dibuat peneliti sendiri.
Penyederhanaan konsep rasionalitas pilihan sebenarnya mulai ditinggalkan oleh para pemikir ekonomi dan ilmu sosial. Sebab, pola pikir yang menyederhanakan pengambilan pilihan seperti ini sangat berbahaya dalam membuat model-model ilmu sosial yang lebih kompleks. Terlebih lagi konsep rasionalitas yang dibuat peneliti pun sebenarnya juga kurang akurat.
Rasionalitas sejatinya menunjukkan bagaimana seorang individu memutuskan sesuatu untuk meraih tujuannya. Seorang agen rasional diasumsikan akan mengambil keputusan berdasarkan informasi yang tersedia, peluang kejadian di masa mendatang yang diharapkan, hitungan potensi biaya-keuntungan yang diperoleh, serta konsistensi dengan pilihan-pilihan serupa.
Dalam memutuskan pilihan di pilkada, misalkan, pemilih rasional akan mengukur peluang kandidat untuk merealisasikan janji yang dibuat dengan membaca rekam jejak di masa lalu. Petahana memiliki keunggulan sebab lebih banyak memiliki rekam jejak historis dalam merealisasikan janji dibandingkan penantang.
Akan tetapi, di sisi lain keburukan petahana juga akan masuk dalam pertimbangan pemilih. Petahana yang memiliki perilaku buruk yang terus berulang di masa lalu tentu memiliki peluang lebih besar mengulangi perbuatannya di masa mendatang. Terlebih ketika perbuatan buruk tersebut memiliki risiko yang harus dibayar mahal oleh pemilih di masa mendatang. Misal kebiasaan petahana menghina agama lain yang berpotensi mengakibatkan keresahan sosial di masa mendatang.
Kurang tepat jika dikatakan bahwa kepribadian kandidat digolongkan ke dalam aspek emosional pemilih saja. Pemilih sebenarnya melakukan perhitungan biaya keresahan sosial di masa mendatang yang bisa dihindari akibat kepribadian kandidat.
Pemilih juga akan membandingkan peluang antara kejadian keresahan sosial yang terjadi seandainya petahana atau penantang yang terpilih. Sehingga, keputusan yang diambil pemilih sebenarnya merupakan sebuah keputusan rasional.
Teori rasionalitas yang selama ini berkembang tak luput dari kritik para ilmuwan sosial. Menempatkan rasionalitas sebagai satu-satunya cara berpikir mengabaikan aspek bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Sebab, pertimbangan rasionalitas semata-mata hanya mengacu pada perhitungan keuntungan dan biaya yang dikeluarkan oleh seorang individu saja.
Sebagai contoh dalam situasi prisoner’s dilemma, dua orang tersangka yang berada di hadapan penyidik secara terpisah bisa saja mengakui kesalahannya untuk memperoleh hukuman minimal. Jika salah satu mengaku dan tersangka lainnya tidak, maka tersangka yang tidak mengaku akan memperoleh hukuman maksimal. Sama-sama mengaku merupakan keputusan rasional dengan hasil optimal. Namun, dalam kenyataannya tidak semua tersangka mau mengakui kesalahannya. Inilah yang gagal dijelaskan oleh teori rasionalitas selama ini.
Amartya Sen berargumen bahwa pengambilan keputusan seorang individu pada realitasnya tidak hanya terkait dengan kepentingan pribadinya saja. Sen menambahkan bahwa simpati dan komitmen merupakan elemen penting yang juga diperhatikan dalam pengambilan keputusan individu. Adanya simpati dan komitmen bahkan terkadang membuat individu mengambil keputusan yang sebenarnya merugikan dirinya secara personal.
Dalam kasus Pilkada DKI, sesungguhnya pemilih juga memiliki pertimbangan komitmen dan simpati ini. Keengganan pemilih memilih salah satu kandidat yang menghina agama lain bukan merupakan pertanda bangkitnya politik identitas. Alih-alih, tindakan tersebut merupakan bentuk komitmennya terhadap nilai yang dia anut serta komitmennya untuk menjaga kerukunan sosial.
Pun keengganan pemilih mendukung kandidat yang sering emosional dan memaki orang lain bukan merupakan pertanda kehadiran pemilih emosional. Pemilih tersebut pada dasarnya sedang bersimpati dengan orang lain yang terkena makian sang kandidat. Dia menempatkan diri pada posisi orang tersebut dan ini hanya bisa terjadi karena sifat manusia sebagai makhluk sosial.
Memutuskan sesuatu membutuhkan energi untuk mengumpulkan informasi dan berpikir. Tak jarang seorang agen rasional akan mengabaikan beberapa hal yang mungkin krusial di masa mendatang demi keuntungan jangka pendek. Itulah kenapa dalam mengukur rasionalitas ada asumsi keterbatasan kognitif yang menyebabkan rasionalitas pemilih tidak sempurna.
Politik uang menjadi berbahaya dalam demokrasi sebab ia mengarahkan pemilih pada keuntungan-keuntungan jangka pendek dan mengabaikan risiko pilihan di masa mendatang. Berkembangnya model politik uang seperti pembagian sembako, bingkisan uang, maupun menjanjikan uang tunai ketika kandidat tertentu menang menunjukkan politik uang terus ada.
Sungguh sangat disayangkan ketika politik uang tidak ditangani oleh aparat secara serius. Padahal dampak kerusakannya sama dengan dampak kerusakan yang disebabkan korupsi.
Fitnah yang berkembang dalam pilkada juga dapat membuat pemilih mengalami misinformasi. Misinformasi ini menyebabkan keputusan yang diambil pun menjadi tidak sesuai dengan tujuan awal pemilih. Aparat perlu menindak tegas setiap penyebaran fitnah dalam pelaksanaan pilkada.
Mendekati masa pemungutan suara, perhatian publik akan banyak tertuju pada bagaimana pemilih memutuskan masa depan DKI Jakarta.
Dalam beberapa rilis lembaga survei, publik dapat melihat bagaimana ketatnya elektabilitas dua pasang calon Pilkada DKI. Ini berarti sedikit perbedaan suara saja dapat memengaruhi keseluruhan akhir pemilihan. Maka dari itu, peran penyelenggara pemilu serta aparat keamanan akan menjadi sangat krusial.
Fokus aparat dan penyelenggara harusnya ditujukan untuk mengawal energi berpikir publik dalam mengambil keputusan yang akan memengaruhi jangka panjang DKI Jakarta. Aparat perlu menindak tegas semua bentuk fitnah dan politik uang, alih-alih mengawalnya. Sebab, fitnah dan politik uang inilah yang sesungguhnya merusak rasionalitas pemilih.
Pada akhirnya, semua pemilih akan melakukan rasionalisasi terhadap pilihannya masing-masing. Hasil pilihan ini haruslah diterima oleh seluruh pihak, baik yang menang maupun yang kalah. Sebab, itulah esensi demokrasi, di mana ada penghormatan terhadap keputusan tiap individu warga yang dibuat secara bebas, tanpa adanya penghakiman terhadap pilihan tersebut.