Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemkot Bogor Setengah Hati dalam Menata Angkutan Kota

Kompas.com - 05/06/2017, 19:55 WIB

Pemerintah Kota Bogor di bawah Wali Kota Bima Arya sejak 2016 menetapkan penataan transportasi sebagai prioritas utama penanganannya, dari enam prioritas utama yang ia tentukan. Pada 2015, blue print penataannya tertuang dalam konsep Bogor Transportation Program atau B-Top.

B-Top ini dibuat untuk menjadi arahan atau pedoman dalam pengembangan strategis transportasi di Kota Bogor sampai kurun waktu 2031, sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor 2011-2031. Pembuatannya juga disesuaikan dengan regulasi terkait lalu lintas dan angkutan publik yang berlaku nasional.

Setelah 2016 berlalu dan kini pertengahan 2017, tampaknya Kota Bogor yang tahun lalu memenangi kompetisi Kota Yang Paling Dicintai 2016, yang diselenggarakan WWF Internasional, belum terlihat tanda-tanda menggembirakan dalam urusan transportasi publik.

Keberadaan angkutan kota (angkot) masih semrawut. Bus transpakuan (TP) yang dikelola Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) sejak 2011 saat wali kota dijabat Diani Budiarto malah mati suri sejak tahun lalu. Padahal, dalam B-Top, ditetapkan angkutan utama di jalur utama dalam kota adalah angkutan massal, yaitu TP.

"Pemda setengah hati dalam pembenahan transportasi. Jika sudah ditetapkan menjadi prioritas utama seharusnya segala upaya dikerahkan ke situ," kata Ketua Komisi C DPRD Kota Bogor Laniasari, pekan lalu.

Ketua Organda Kota Bogor M Ischak AR mengatakan, ketidakseriusan pemda melaksanakan B-Top dapat dilihat pada gagalnya penerapan dua koridor utama TP pada pertengahan Mei lalu. Tidak ada angkot dari perusahaan atau koperasi yang mendapat kuota mengisi rute TP 2 dan TP 3, dua jalur koridor tersebut, patuh mengisi jalur koridor itu.

Setiap koridor seharusnya diisi 243 angkot, yang nanti dikonversi menjadi 81 bus TP. Angkot itu berasal dari sembilan perusahaan/konsorsium yang dibentuk para pengusaha angkot perorangan. Angkot yang masuk ke dua koridor utama itu, yang akan menembus pusat kota, dari angkot-angkot yang dulunya rute 02, 03, 07, 09, dan 21. Data Dinas Perhubungan Kota Bogor, 80 persen angkot pengisi dua koridor utama itu sudah dipasangi stiker trayek baru.

Menurut Ischak, pemkot tidak siap dalam perencanaan dan pendanaan. Tidak cukup angkot itu diberi stiker trayek. Perlu pengawasan di lapangan.

Lagi pula, bagaimana angkot TP 2 dan TP 3 patuh pada rute trayeknya jika sisa angkot rute lama yang tidak berhak atau mendapat kuota dua rute itu masih beroperasi di sebagian besar rute TP 2 dan TP 3. Seharusnya, sisa angkot itu langsung dimasukkan ke trayek baru, menjadi feeder bagi TP 2 dan TP 3.

Ischak mengatakan, penataan angkot di Kota Bogor adalah keharusan. Sebab, rute angkot saat ini dibuat pada 2008, saat jumlah angkot kurang dari 1.000 unit dan luas Kota Bogor masih kecil. Sekarang, jumlah angkot tiga kali lipatnya dan baru 42 persen wilayah kota dilayani angkot.

Subsidi tak pasti

Beberapa pengusaha angkot yang kini bergabung dalam badan usaha jasa transportasi, misalnya Ny Dewi dari Kojari, mengeluhkan ketidakjelasan pemberian subsidi jika perusahaannya harus mengisi koridor TP. "Beri kami bus atau beri kami subsidi selama delapan tahun, setelah itu kami beli bus sendiri," katanya.

Tedy Murtedjo, pakar transportasi yang juga terlibat dalam tim penyusun B-Top, mengatakan, terbatasnya anggaran APBD Kota Bogor membuat pembenahan sistem transportasinya tidak bisa dipacu. Tahun ini adalah tahap re-routing yang berbarengan dengan konversi tiga angkot menjadi satu bus.

"Sebetulnya, jika PDJT tidak bermasalah, re-routing bisa dilaksanakan bersamaan dengan konversinya. Sekarang ini sudah ada 10 bus baru di Dishub. Namun, itu tidak bisa dioperasikan karena PDJT belum sehat. Bus itu milik pemerintah, harus dikelola perusahaan pemerintah. Namun, PDJT nanti bisa kerja sama operasional (KSO) dengan badan usaha jasa transportasi lain," katanya.

Sosialisasi gencar tentang pembenahan transportasi tampaknya harus dilakukan sungguh-sungguh oleh Pemkot Bogor. Setelah berhasil menerapkan perubahan sistem arus lalu lintas di lingkar Kebun Raya Bogor tahun lalu dan juga menjadikan semua pengusaha angkot membentuk badan usaha perusahaan terbatas atau koperasi, bukan perorangan lagi, penataan ulang trayek angkot seharusnya bisa berjalan lancar.

Apalagi, kata Tedy, B-Top direncanakan dengan kajian ilmiah. Ia mengajak Pemkot Bogor berkaca dari Kota Solo, Jawa Tengah. Di Solo, kotanya mirip Bogor. "Di sana Batik Transsolo sukses beroperasi dari 2012 hingga sekarang," katanya.

(Ratih P Sudarsono)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Juni 2017, di halaman 26 dengan judul "Setengah Hati dalam Menata Angkutan Kota".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com