JAKARTA, KOMPAS.com - Selama 10 tahun terakhir, Hasan Basri (52), mengatur kendaraan di pertigaan Jalan Amil dengan Jalan Warung Buncit Raya, Jakarta Selatan. Setiap hari dia menghabiskan lima hingga tujuh jam bergantian dengan temannya untuk mengatur laju kendaraan yang keluar dan masuk gang.
"Kami yang jaga ini warga asli sini. Seikhlasnya aja jaga, ada yang kasih syukur kalau enggak ya udah. Yang penting kan gimana lingkungan enggak macet," ujar Hasan, kepada Kompas.com, Selasa (25/7/2017).
(baca: Jakarta Makin Macet, Polisi Ingin Perbanyak "Pak Ogah")
Hasan mengaku belum mendengar wacana Kepolisian Daerah Metro Jaya merekrut 'Pak Ogah' seperti dia menjadi pengatur lalu lintas di bawah komando polisi dan Dinas Perhubungan.
Namun, Hasan menyambut baik wacana itu, apalagi jika ada upah yang tetap dan layak.
"Alhamdulillah kalau 'Pak Ogah' digaji. Mau banget," kata Hasan.
'Pak Ogah' seperti Hasan mengandalkan kemurahan hati pengendara memberikan uang pecahan kecil saat membantu mengatur lalu lintas.
Bagi Hasan, mengatur lalu lintas adalah pilihan terakhir setelah dia tidak lagi menjadi tukang ojek di sekitar lokasi tersebut.
"Kalau pakai seragam terus kami enggak dikasih uang gitu, ya enggak apa-apa, kan ada gajinya," ujar Hasan.
(baca: Kadishub DKI Khawatir Pak Ogah Sok Berkuasa jika Direkrut Polisi)
Dalam sehari mengatur lali lintas, Hasan rata-rata memeroleh Rp 60.000. Jika lalu lintas ramai, terutama pada Jumat malam, dia bisa mengumpulkan hingga Rp 80.000.
Saat ini, wacana merekrut 'Pak Ogah' menjadi Supeltas atau sukarelawan pengatur lalu lintas tengah dikaji kepolisian dan Dinas Perhubungan. Polisi mengusulkan agar upahnya dikumpulkan dari program corporate social responsibility (CSR) tempat usaha di sekitar wilayah tempat 'Pak Ogah' bekerja.