JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat berterima kasih kepada Presiden Joko Widodo karena telah menyerahkan 17 sertifikat kepada Pemprov DKI. Menurut Djarot, penyerahan sertifikat itu sejalan dengan langkah Pemprov DKI yang ingin menyertifikasi semua aset DKI.
"Ini benar-benar sejalan dengan apa yang kami lakukan setahun belakangan, yaitu inventarisasi aset sekaligus sertifikasi aset. Semua kantor-kantor pemerintah itu harus disertifikatkan," ujar Djarot, di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (20/8/2017).
Djarot melanjutkan, penyerahan sertifikat dari Jokowi menjadi momentum Pemprov DKI Jakarta mengejar opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pengelola Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Pemprov DKI Jakarta.
Sebab, persoalan aset menjadi salah satu alasan DKI gagal mendapatkan opini WTP sejak 2013.
"Tahun depan ini kami berharap semuanya (aset bersertifikat), karena ini menjadi salah satu temuan BPK sehingga Jakarta sulit untuk mendapatkan opini WTP ya, salah satunya persoalan aset," kata dia.
(baca: Masalah Aset, Djarot Prediksi Pemprov DKI Dapat Opini WDP Lagi)
Hingga saat ini, lanjut Djarot, masih banyak aset di DKI yang belum bersertifikat. Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD) DKI Jakarta akan terus mengurus sertifikat aset tersebut.
Presiden Jokowi menyerahkan 17 sertifikat kepada Pemprov DKI, 15 di antaranya sertifikat hak pakai atas aset-aset DKI dan 2 sertifikat hak pengelolaan Pulau C dan D hasil reklamasi.
Beberapa sertifikat aset yang diserahkan antara lain Taman Bersih Manusiawi Berwibawa (BMW), Balai Kota DKI Jakarta, arena pacuan kuda equestrian di Pulomas, dan aset-aset lainnya. Sementara sertifikat Kawasan Monumen Nasional (Monas) baru diserahkan pada pekan depan.
Adapun Pemprov DKI Jakarta untuk keempat kalinya sejak 2013 mendapat opini WDP dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI atas LKPD Pemprov DKI Jakarta pada 2016.
Sejumlah alasan Pemprov DKI mendapat WDP ialah terkait kontribusi yang dipungut dari pengembang proyek reklamasi tetapi tidak memiliki aturan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) dan tidak dibahas dengan DPRD DKI Jakarta. Alasan lain ialah adanya aset yang tercatat di lebih dari dua SKPD.