JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti mempertanyakan kepekaan masyarakat dalam kasus duel ala gladiator yang menewaskan Hilarius Christian Event Raharjo (15), siswa SMA Budi Mulia Bogor pada 29 Januari 2016.
Dari temuan yang didapat polisi sementara ini, pertarungan itu diketahui terjadi di lapangan yang merupakan ruang terbuka.
"Kami mempertanyakan karena katanya ini di ruang publik, bahkan katanya ada satpam yang melihat. Kok ada sorak sorai, tampak anak diadu, kan mestinya punya kepekaan dong," kata Retno di kantornya di Jakarta Pusat, Jumat (22/9/2017).
Hilarius yang saat itu merupakan siswa kelas X SMA Budi Mulia tewas setelah terlibat pertarungan ala gladiator satu lawan satu dengan siswa dari SMA Mardi Yuana. Pertarungan ala gladiator atau dikenal dengan istilah "bom-boman" itu dilakukan menjelang pertandingan final bola basket antara SMA Budi Mulia dengan SMA Mardi Yuana.
Lihat juga: Kasus Duel Ala Gladiator di Sekolah, 3 Alumni dan Siswa Jadi Tersangka
Tradisi "bom-boman" itu selalu dilakukan jika kedua sekolah bertemu dalam ajang kompetisi bola basket yang digelar setiap tahun. Senior dan alumni kedua sekolah memaksa yunior mereka yang masih duduk di kelas satu SMA untuk saling berkelahi.
Hilarius tewas setelah mengalami luka memar di bagian wajah serta pecah pembuluh darah di bagian kepala. Peristiwa itu terjadi pada 29 Januari 2016 di sebuah lapangan yang terletak di SMA Negeri 7 Kota Bogor.
Diperkirakan saat itu ada 50 orang yang melihat. Tak semua tersangka yang ditetapkan polisi berusia di bawah 18 tahun atau anak-anak. Ada yang saat itu sudah tergolong dewasa.
Retno memperingatkan, pembiaran terhadap kekerasan yang melibatkan anak-anak merupakan pelanggaran terhadap undang-undang.
Pasal 78 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak berbunyi, "Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)."
Untuk itu, Retno mengimbau masyarakat bertindak jika melihat kerumunan pelajar apalagi jelas terjadi aksi kekerasan. Pencegahan bisa dilakukan dengan membubarkan atau melaporkan kepada pihak berwenang.
Menurut Retno, aksi kekerasan sulit diberantas jika hanya mengandalkan dan menyalahakan pihak sekolah atau orangtua. Tindak pidana dan kenakalan anak acap terjadi di luar sekolah dan luar rumah. Masyarakat diwajibkan oleh hukum untuk mencegah atau menghentikan.
"Peristiwa semacam ini harus jadi pembelajaran. Kalau ada anak bergerombol kita harus cegah," ujar Retno.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.