JAKARTA, KOMPAS.com - Tangan Nur bergetar saat mengangkat gelas termosnya, Jumat (10/11/2017) siang. Ia mestinya menikmati tidur siang setelah meminum segelas air. Namun air itu masih panas.
Ia pun menceritakan perjalanan hidupnya kepada Kompas.com sembari menungu airnya tak terlalu panas.
"Nenek udah tinggal di sini dari jaman presidennya masih Wilhelmina (Ratu Belanda)," katanya dengan logat betawi yang tak terlalu jelas.
Nur mengaku saat ini berusia 130 tahun. Namun masa tuanya dijalankan dalam kondisi memprihatinkan. Ia tinggal di sebuah gubuk yang luasnya kira-kira hanya 2 x 3 meter. Gubuk itu terletak di sebelah pos keamanan di kawasan Abdul Majid, Cipete, Jakarta Selatan.
Dinding gubuknya terbuat dari tripleks dan seng sebagai atapnya. Hanya ada meja, kursi, sebuah foto lama, kasur, dan kamar mandi.
"Jangan masuk-masuk, pesing, Nenek pipisnya awur-awuran," katanya.
Meski memiliki keluarga, Nur tinggal seorang diri. Bukannya keluarga tak memperhatikan, Nur memilih tinggal sendiri. Ia mengaku punya 12 anak, tetapi yang masih hidup tinggal dua.
Cucunya ada 35 orang dan tidak ada yang tinggal bersama dia. Cucunya yang tinggal di Cimone, Tangerang, biasanya mengurus dia setiap beberapa hari sekali.
"Boleh tanya orang sini, Nenek dari dulu enggak mau ikut anak-cucu. Dari masih muda nyari makan, kerja sendiri, enggak minta sama anak, alhamdulillah," ujarnya.
Beruntung, di sekitar tempat tinggalnya ada warga-warga yang mampu secara ekonomi. Warga sekitar turut mengurus dan memenuhi kebutuhannya.
Nur mengaku telah tinggal di sana sejak kecil, di tanah pemberian orangtuanya.
Ia mengatakan setelah menikah dengan suaminya, hidupnya sempat berpindah-pindah dari satu gubuk ke gubuk yang lain. Suaminya dulu bekerja sebagai pengurus keamanan dan kebersihan di Lemigas Cipulir. Nenek Nur ikut bekerja di sana sebagai resepsionis.
"Dulu ibu bilang Nenek mesti tinggal di rumah ini terus, makanya Nenek enggak mau pindah-pindah," kata dia.
Nur kini sudah tak bisa melihat dengan jelas. Pendengarannya juga sulit. Orang harus berteriak berulang kali agar dia mampu mengerti. Kakinya sudah tak mampu membawanya berjalan. Ia juga harus dimandikan dan diceboki oleh orang lain.
Nenek Nur biasanya menggunakan popok pemberian tetangga. Dengan kondisi selemah itu, Nur tetap tidak mau dirawat orang lain, apalagi ke panti.