JAKARTA, KOMPAS.com - Enam penggugat ganti rugi tanah untuk proyek mass rapid transit (MRT) Jakarta meminta agar Mahkamah Agung meninjau kembali putusan kasasi yang mereka keluarkan pada November ini. Pengacara penggugat, Yuliana Rosalita menjelaskan, pihaknya menduga ada kesalahan dalam putusan tersebut.
"Mahkamah Agung dalam putusan mendasarkan pada penetapan ganti rugi tanggal 30 Desember 2015," kata Yuliana kepada Kompas.com, Selasa (21/11/2017).
Jika mengacu pada nilai ganti rugi pada Desember 2015, para penggugat bisa jadi mendapat nilai di bawah NJOP yang berlaku saat ini. Yuliana menilai ada kesalahan hukum acara yang jadi dasar putusan Mahkamah Agung (MA).
Baca juga : Menang Perkara Ganti Rugi, DKI Segera Eksekusi Lahan MRT di Fatmawati
Saat mendaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Maret 2016, para penggugat menggugat Pemprov DKI Jakarta melakukan perbuatan melawan hukum. Pemprov DKI disebut melanggar pasal 33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disebut dengan UU Nomor 2 Tahun 2012) juncto pasal 65 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Mereka saat itu menggugat ganti rugi hingga Rp 100.000.000 per meter persegi atas kerugian usaha yang mereka miliki di sepanjang Jalan Fatmawati.
"Gugatan saat itu adalah perbuatan melawan hukum, perdata murni. Penggugat meminta agar proses ganti rugi dilaksanakan dengan benar," ujar Yuliana.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat itu mengabulkan keenam penggugat. Pemprov DKI Jakarta dinyatakan terbuki melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum Pemprov DKI untuk membayar tanah penggugat sebesar Rp 60 juta per meter.
Pemprov DKI Jakarta kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan dalih sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pokok yang diajukan dalam kasasi tersebut adalah keberatan para pemilik lahan.
"Itu kan rel hukum yang berbeda. Kami menggugat soal perbuatan melawan hukumnya dan dikabulkan hakim PN Jakarta Selatan, kenapa kemudian di MA rel hukumnya menjadi UU Pengadaan Tanah soal keberatannya?" kata Yuliana.
Ia menjelaskan, hingga saat ini pihaknya belum menerima petikan putusan MA. Ia baru membacanya di situs resmi Mahkamah Agung.
Yuliana mengaku sudah mengajukan upaya peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tetapi tidak dihiraukan. Pihaknya berencana mengadukan putusan itu ke Badan Pengawas serta Ombudsman dalam waktu dekat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.