JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan saat ini masih menunggu kajian dari PT Transjakarta soal nasib 1.847 karyawan kontraknya yang tak kunjung diangkat jadi karyawan.
Ia mengusulkan ada pelatihan supaya mereka bisa dialihkan jadi teknisi di mass rapid transit (MRT) dan light rail transit (LRT) yang akan beroperasi di Jakarta.
"Nah tenaga kerja-tenaga kerja ini daripada mereka tidak memiliki kemampuan untuk naik kelas. Kami berikan training. Nanti kan industri transportasi akan berkembang. LRT ada, MRT ada. Kami butuh teknisi-teknisi transportasi. Nah mereka ini bisa kita arahkan ke sana," kata Sandiaga di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (19/3/2018).
Menurut Sandiaga, jika dilatih dengan baik, mereka akan "naik kelas" menjadi operator. Apalagi armada transjakarta akan terus ditambah.
Baca juga : Pemprov DKI Diminta Selesaikan Masalah Ketenagakerjaan di Transjakarta
Kendala memberikan pelatihan, kata Sandiaga, ada pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sandiaga menilai Undang-Undang itu tidak memberikan insentif bagi perusahaan untuk mengangkat karyawan kontraknya menjadi karyawan tetap.
"Sangat tidak memberikan insentif kepada perusahaan maupun para pekerjanya untuk bisa berkembang bersama-sama. Training juga (dirasa) sangat sulit," kata dia.
Serikat Pekerja Transjakarta (SPTJ) meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk menangani kesewenang-wenangan yang dilakukan manajeman PT Transportasi Jakarta.
Menurut Budi dari SPTJ, 1.847 karyawan yang ditolak diangkat menjadi karyawan tetap itu merupakan tenaga yang direkrut pada 2016-2017 dan sudah menjalani dua kali kontrak sampai 2018.
Baca juga : PT Transjakarta Bantah Bertindak Sewenang-wenang terhadap Karyawan
Padahal, pengangkatan 1.847 karyawan tersebut sudah ditetapkan dan disosialisasikan oleh Tim Penyelesaian Permasalahan Ketenagakerjaan atau dikenal Tim 8 yang dibentuk oleh Pemprov DKI.
Bentuk kesewenangan lain, menurut Budi, adanya pemecatan terbuka dan terselubung terhadap ratusan karyawan di bidang operasional dan lainnya.
Hal ini disebutnya melanggar prinsip Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang mengedepankan pembinaan dalam pemberian sanksi pada karyawan bermaslah.
Selain itu, lanjut Budi, masih banyak lainnya, seperti tidak menjalankan UU Ketenagakerjaan tentang usia pensiun bagi karyawan dengan alasan undang-undang tersebut belum tercatat dalam peraturan perusahaan.
Ia juga menyebut adanya pembiaran terhadap karyawan yang hamil besar untuk tetap bekerja.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.