JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Pergerakan OK OCE (PGO) Faransyah Jaya mengatakan, meski belum bersertifikasi, pendamping OK OCE direkrut dengan syarat dan kriteria mirip dengan pelatihan uji kompetensi yang dilakukan lembaga sertifikasi.
Dalam perekrutan, PGO menetapkan tiga standar minimal yang harus dipenuhi jika ingin menjadi pendamping OK OCE.
Tiga standar itu yakni pendidikan, kesehatan, dan pengalaman berwirausaha.
"Pada saat membuka lowongan, kita ada syarat dan ketentuannya. Kalau standarisasi rekrutmen sudah," ujar Faran saat dihubungi Kompas.com, Selasa (18/9/2018).
Baca juga: Pendamping OK OCE Tak Bersertifikat, Anggaran Sertifikasinya Juga Ditolak
Standar minimal pendidikan pendamping OK OCE yaitu lulusan Diploma 3, sedangkan untuk kesehatan harus melalui rekomendasi dokter.
Terkait pengalaman berwirausaha, standarnya wajib minimal 6 bulan pernah berwirausaha.
Faran mengatakan, setelah memenuhi syarat minimal tersebut, para pendamping akan diuji kembali dalam pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh para trainer.
Pelatihan ini disebut trainer of trainer (ToT) dan digela tiga bulan sekali. Melalui pelatihan itu, para trainer akan menguji kompetensi para pendamping OK OCE.
Menurut Faran, para pendamping itu akan dilatih dan diuji pemahamannya dalam menghitung modal, mengetahui proses perizinan usaha, dan beberapa hal lain untuk pengembangan usaha.
Faran mengatakan, awalnya ToT dirasa cukup untuk dijadikan standar para pendamping. Namun, seiring berjalannya waktu, PGO merasa perlu sertifikasi pelatih.
Baca juga: Debat Sengit DPRD DKI Saat Pemprov Ajukan Anggaran Sertifikasi Pendamping OK OCE
Faran mengatakan, sertifikasi diperlukan untuk mendapatkan seorang pendamping yang kompeten.
Hal itu juga akan berdampak terhadap banyaknya peserta OK OCE mendapatkan perizinan usaha dan permodalan.
Pendamping OK OCE yang telah bersertifikasi dipastikan memenuhi syarat untuk mendampingi peserta OK OCE membangun sebuah usaha.
"Dia mesti memahami pelatihan menghitung HPP, harga jual kayak apa, dia mesti tahu prosedur mendampingi mengurus perizinan. Sebenarnya yang kita lakukan di ToT. Tapi bedanya kalau disertifikasi dia benar-benar akan menjalnkan fungsinya semaksimal mungkin, harus lulus," ujar Faran.
"Tantangan yang saya berikan, setelah kita berdiskusi kurang cukup. Kita perlu standarisasi yang bersertifikasi. Kalau dia tidak lulus berarti dia tidak kompeten," ujar Faran.