JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Rizal Djalil, mengkritik program Citarum Harum yang digagas pemerintah pusat. Dalam hasil auditnya, Rizal menilai program ini belum berjalan efektif.
"Tidak gampang membuat program kalau tidak tahu akar permasalahan. Nanti program sekadar pencitraan. Poin saya adalah bagaimana kita bekerja dengan akar masalah, bukan teriak-teriak Citarum Harum, tapi enggak tahu masalahnya," ujar Rizal dalam seminar "Membedah Citarum dari Hulu sampai ke DKI Jakarta" di kantor BPK, Senin (18/2/2019).
Rizal menjelaskan, sejak Citarum Harum berjalan pada 2015, pencemaran terus terjadi karena belum adanya sarana pengelolaan limbah, baik untuk rumah tangga maupun industri. Akibatnya, kualitas air Citarum belum bisa memenuhi standar baku mutu.
Baca juga: Anggaran untuk Citarum Belum Cair, Ridwan Kamil Temui Menko Luhut
"Pernah enggak mereka diberi sosialisasi? Punya perda enggak untuk mengatur ini? Enggak bisa kita menyalahkan masyarakat. Dibuat fasilitas enggak untuk mereka membuang limbah?" kata Rizal.
Audit BPK dari tahun anggaran 2016 hingga 2018 menyimpulkan kegiatan pengendalian pencemaran air di DAS Citarum belum didasarkan pada perencanaan yang komprehensif dan terpadu.
Dalam pelaksanaan kegiatan pengendalian pencemaran air di DAS Citarum, belum terdapat rencana aksi atas Program Citarum Harum yang terintegrasi dengan dokumen perencanaan masing-masing instansi yang dilengkapi dengan sasaran yang akan dicapai dan indikator keberhasilan kegiatan.
Baca juga: Anggota BPK Sindir Ketidakhadiran Ridwan Kamil di Seminar Citarum Harum
Selain itu, pemerintah kabupaten/kota di DAS Citarum sebagai pelaksana kebijakan di tingkat daerah belum dilibatkan dalam struktur organisasi Citarum Harum.
Ketiga, penganggaran kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan belum berorientasi pada upaya pemulihan lahan kritis.
BPK menilai Satgas Citarum Harum belum dapat melaksanakan tugas secara optimal karena belum didukung dengan sumber daya yang memadai. Sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik dan sampah juga belum memadai.
Begitu pula pengawasan atas industri yang mengeluarkan limbah ke Sungai Citarum belum didukung dengan sumber daya manusia dan database industri yang memadai.
BPK juga menilai belum ada kajian sebagai dasar regulasi jumlah maksimal keramba jaring apung, dan belum terdapat mekanisme inventarisasi jumlah ternak dan pemanfaatan limbah ternak.
Sungai yang didapuk sebagai sungai terkotor di dunia oleh Bank Dunia itu mulai dibenahi lewat program pemerintah pusat Citarum Harum. Sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat ini menjadi sumber utama air bersih di Jakarta lewat pengairan ke Waduk Jatiluhur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.