JAKARTA, KOMPAS.com – Kasatgas Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polri Sri Bhayakari mengakui, selama ini kasus kekerasan seksual seringkali sulit berlanjut ke tahap penyelidikan maupun penyidikan.
Alat bukti yang minim jadi penyebab, terutama pada kasus pelecehan. Sri menyebutkan, kasus pelecehan seksual tidak meninggalkan jejak yang dapat dijadikan alat bukti.
“Namanya pelecehan seksual itu tidak ada jejaknya, apalagi yang hanya verbal saja. Ini jadi sulit untuk pembuktiannya,” kata Sri di Komnas Perempuan, Rabu (24/4/2019).
Sri mengeklaim, secara teori kasus pelecehan seksual seharusnya cepat ditangani polisi, dengan syarat terdapat setidaknya dua bukti yang memadai agar kepolisian dapat menerbitkan laporan. Namun, fakta di lapangan tak melulu seperti itu.
Baca juga: Pemerintah Diminta Siasati Potensi Kekerasan Seksual di Transportasi Daring
Ia mencontohkan, penyintas yang mengaku mengalami pelecehan secara psikis perlu diperiksa melalui forensik kejiwaan untuk menjadikannya sebagai alat bukti. Keterangan penyintas, apalagi tanpa saksi, dalam kerangka hukum saat ini menurut Sri, belum cukup kuat untuk meyakinkan hakim menjatuhkan vonis kepada pelaku pelecehan.
“Kalau dihina, dicolek begitu, polisi akan merujuk ke lembaga lain yang bisa mengeluarkan surat keterangan hasil visum, atau tambah satu saksi lagi. Itu baru bisa jadi LP (laporan polisi). Kalau enggak ada, enggak bisa naik. Karena kalau alat bukti kurang, nanti di tingkat pengadilan juga oleh hakim akan mentah. Pengumpulan barang bukti inilah yang perlu waktu,” imbuh Sri.
Karena itu, Sri mengimbau masyarakat bersedia menjadi saksi ketika menyaksikan pelecehan seksual. Kalau perlu, kejadian tersebut didokumentasikan supaya terdapat alat bukti yang lebih bisa diandalkan kepolisian.
Dokumentasi tersebut diklaim bakal lebih memudahkan aparat bergerak karena alat bukti dinilai kuat daripada sebatas keterangan.
“Itu perlunya kerja sama masyarakat, pemahaman bahwa dalam pengungkapan kasus begini butuh alat bukti yang mendukung. Rekaman ini jadi bukti kepada polisi untuk mencecar pertanyaan kepada pelaku,” kata Sri.
Namun, langkah mendokumentasikan tindak pelecehan dan kekerasan seksual juga berpotensi jadi bumerang. Kasus Baiq Nuril yang merekam tindak pelecehan seksual yang ia alami menjadi contohnya.
Nuril yang sempat dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Mataram justru dijerat UU ITE dan divonis bersalah oleh Mahkamah Agung karena dianggap "Tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."
Ketua Komnas Perempuan Azriana menganggap, sengkarut proses pengungkapan kasus pelecehan seksual berpangkal pada tidak relevannya sistem huku untuk menjawab kasus kekerasan seksual. Akibatnya, ruang gerak polisi jadi terbatas.
“Polisi bekerja kan merujuk aturan. Sistem pembuktian kita saat ini masih sangat konvensional,” ujar Azriana, Rabu.
“Maka kita sedang coba upayakan lewat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS). RUU P-KS menawarkan sistem pembuktian yang lebih menjawab perkembangan zaman. Dia akan memudahkan aparat penegak hukum untuk memproses karena mekanisme pembuktian itu diberikan banyak opsi,” kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.