JAKARTA, KOMPAS.com - Buruknya kualitas udara di Jakarta sempat jadi perbincangan belakangan ini setelah penyedia data polusi kota-kota besar dunia, AirVisual pada Selasa (25/6/2019) pagi, menunjukkan Jakarta masuk dalam 4 kota dengan pencemaran udara terburuk di dunia setelah Dubai, New Delhi, dan Santiago.
Pagi itu, indeks kualitas udara Jakarta menyentuh angka 164, masuk dalam kategori tidak sehat (151-200).
Pemprov DKI melalui Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih berdalih, kualitas udara Jakarta tak seburuk itu. Ia menjelaskan, standar pengukuran pencemaran udara versi pemerintah dan AirVisual tidak sama.
Baca juga: 2019, Polusi Udara Jakarta Dinilai Lebih Parah dari 2018
PM 2,5 dan PM 10
Andono Warih menyatakan, standar pengukuran pencemaran udara di Indonesia, termasuk Jakarta, bersandar pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor KEP-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
Dokumen itu hanya mengatur standar untuk menghitung ISPU di Indonesia menggunakan parameter partikel debu berukuran 10 mikron (PM 10).
Sementara itu, data AirVisual menggunakan parameter PM 2,5, partikel debu berukuran kurang dari 2,5 mikron.
"Seperti sehelai rambut dibagi 30," ujar Direktur Eksekutif Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin alias Puput kepada wartawan, Jumat (28/6/2019), tentang partikel berukuran 2,5 mikron.
Baca juga: RTH Jakarta Tak Cukup Kendalikan Polusi, Sumber Pencemar Harus Ditekan
Saking halusnya, menurut Puput, partikel ini sanggup menembus masker dan sulit disaring oleh bulu hidung, sehingga besar kemungkinan menyusup sampai paru-paru dalam jumlah besar.
Badan Kesehatan Dunia, WHO, pun menetapkan bahwa PM 10 masuk kategori partikulat kasar yang dampaknya terhadap kesehatan tidak separah PM 2,5.
"Partikel 10 mikron bisa masuk dan mengendap di paru-paru. Tapi, yang lebih berbahaya lagi yakni partikel berukuran kurang dari 2,5 mikron yang bisa menembus sekat paru-paru dan masuk ke aliran darah," tulis WHO dalam situs resminya.
Standar Pemerintah Longgar dan Tak Sesuai Zaman
Puput menjelaskan, polemik soal angka yang kemudian merepresentasikan tingkat pencemaran udara tak berhenti pada PM 2,5 dan PM 10. Pemerintah menerapkan standar ISPU yang terlalu longgar dibandingkan standar WHO yang mestinya jadi acuan internasional.
"Ini sebabnya, masyarakat sipil mengatakan terjadi pencemaran, kondisi udara tidak sehat, tapi pemerintah bilang masih sedang, masih aman. Karena masyarakat sipil menggunakan standar WHO," jelas Puput.
Jika menggunakan parameter pemerintah selama ini, yakni PM 10, WHO menetapkan bahwa kualitas udara "baik" jika jumlah PM 10 maksimal sebanyak 20 ug/m3 (mikrogram per meter kubik). Sementara itu, versi Kementerian LHK, kualitas udara "baik" ditoleransi hingga 51 ug/m3.