JAKARTA, KOMPAS.com - Perkiraan penuhnya Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, pada tahun 2021, mendesak Pemprov DKI untuk bergerak cepat dalam menangani masalah sampah di Ibu Kota.
Setiap harinya, Jakarta memproduksi sampah seberat 7000 ton yang diantar ke TPST Bantargebang.
Dengan sistem pengelolaan sanitary landfill, TPST Bantargebang memiliki kapasitas maksimal 49 juta ton.
Selama 30 tahun Jakarta telah bergantung ke Bantargebang. Kini kondisinya telah terisi 39 juta ton sampah atau 80 persen dari kapasitas TPST.
Baca juga: 2021, Bantargebang Diprediksi Tak Mampu Tampung Sampah Jakarta
Jika diperhitungkan, maka TPST Bantargebang hanya bisa bertahan tiga tahun lagi.
Ancaman ini memaksa Pemprov DKI untuk mencari jalan lain yang lebih efektif dalam mengolah sampah. Salah satunya membangun Intermediate treatment facility atau ITF.
ITF merupakan fasilitas pengolahan sampah di dalam kota yang berbasis pada konsep waste to energy. Dalam hal ini, yaitu listrik.
ITF bekerja dengan membakar sampah di sebuah ruangan tertutup bernama insinerator dengan suhu 1000 derajat celcius.
Di atas insinerator terdapat boiler atau ketel uap berisi air yang jika dipanaskan akan menjadi uap bertekanan tinggi.
Baca juga: Para Pemulung Bantargebang Tak Setuju PLTSa
Nantinya uap itu akan memutar generator dan menghasilkan energi listrik. Listrik yang dihasilkan minimal adalah 35 megawatt per jam.
ITF Sunter dikabarkan dapat mengolah 2200 ton sampah atau sekitar 30 persen dari total 7.452 ribu Ton Sampah DKI per harinya.
Awal mula zaman Fauzi Bowo
ITF pertama kali digagas oleh Gubernur ke-13 Jakarta, yaitu Fauzi Bowo alias Foke pada 2009, dengan nilai pembangunan Rp 1,3 triliun.
Instalasi tersebut rencananya akan didirikan di tiga daerah, yakni Cakung, Sunter, dan Marunda.
Proyek tersebut sebetulnya telah dilelang, namun penentuan pemenang lelang tidak kunjung diputuskan hingga pergantian Gubernur dari Fauzi Bowo ke Joko Widodo alias Jokowi.