JAKARTA, KOMPAS.com - F, salah satu dari 10 anak yang ditangkap saat kasus 22 Mei di Bawaslu, Jakarta Pusat, mengaku menyesal ikut dalam aksi itu.
Akibat terjerat kasus ini, F untuk kali pertama dalam hidupnya dihadapkan dengan hukum.
"Saya menyesal, saya tidak mau ikut-ikutan demo, apalagi kejadian seperti ini (tertangkap polisi) buat saya trauma," ujar F bercerita, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (13/8/2018).
F mengaku, saat itu mau ikut menghadiri aksi 22 Mei karena diajak teman-teman sedaerahya. Bahkan, ia tak mengetahui apa tujuan dirinya mengikuti aksi kala itu.
Baca juga: Dakwan Terhadap 48 Perusuh Saat 22 Mei, Kekerasan pada Aparat hingga Rusak Fasilitas Publik
"Nah saya juga tidak ngerti. Cuma saya di situ tidak ada niatan buat mana yang menang, mana yang kalah (Pilpres), cuma ikut-ikutan aja," kata F.
F bercerita, saat itu ia hanyalah ikut-ikutan dengan teman rumahya di Harmoni yang ramai-ramai rencananya akan ikut aksi.
Saat 22 Mei 2019, dirinya tanpa izin ibundanya kala itu langsung pergi ikut aksi.
"Sempat dilarang sama ibu, tapi saya aja yang batu tidak mau dengerin kata ibu," ujar F.
Setelah sampai Bawaslu, ia hanyalah ikut-ikut nongkrong, aksi, dan melakukan aktivitas layaknya pendemo.
Namun, di malam harinya F tak menyangka akan menjadi rusuh. Semua saling melempar batu ke arah aparat kepolisian.
Baca juga: Kuasa Hukum Sebut Punya Bukti Lima Anak yang Ditangkap Tidak Bersalah dalam Rusuh 22 Mei
Melihat orang-orang di sekitarnya hendak melemparkan batu, ia pun langsung menyiapkan bebatuan yang berada di dekatnya untuk melemparkan batu itu ke polisi.
Namun, sepengakuan F ia belum sempat melemparkan batu itu ke arah aparat (polisi).
Karena ia kelelahan lari-lari, F langsung memilih istirahat di gedung hotel yang berada di kawasan Bawaslu.
Saat duduk, F memang masih menggenggam dua batu yang udah disiapkannya.
"Polisinya ketemu saya, ngeliat saya bawa dua batu, belum sempat nyambit eh udah ketangkap duluan," ucapnya sambil menunduk.