BEKASI, KOMPAS.com – Hari ini, Kota Bekasi sudah menggusur dua permukiman warga. Satu berada di Jalan Bougenville Raya, Jakasampurna dan satu lagi di Jalan Irigasi Kampung Poncol Bulak, Jakasetia.
Pemerintah Kota Bekasi menggusur rumah-rumah warga di Jakasampurna pada 25 Juli 2019 lalu. Sementara itu, rumah-rumah warga di Jakasetia sudah rata dengan tanah sejak Oktober-November 2016 silam.
Namun nyatanya, dalih pembebasan lahan di balik agenda penggusuran di dua titik tadi tidak jelas kelanjutannya. Di saat yang bersamaan, warga sudah kehilangan tempat tinggal dan mesti memutar otak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya itu.
Dalam dua kasus itu, Pemerintah Kota Bekasi sama-sama dianggap sepihak dan represif dalam melakukan penggusuran.
Penggusuran rumah warga di Jalan Bougenville Raya diwarnai bentrok warga dan aparat. Komnas HAM pun menyayangkan tindakan represif Pemerintah Kota Bekasi yang tak mengindahkan seruan untuk musyawarah mufakat.
Sementara di Jakasetia, Pemerintah Kota Bekasi dinilai tak punya dasar hukum menggusur warga yang sudah tinggal sejak 1982.
Pasalnya, hingga kini, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bekasi yang bertugas menginventarisasi kepemilikan tanah, tak bisa memastikan tanah gusuran tersebut milik siapa karena statusnya kosong.
Jika kosong, besar kemungkinan tanah tersebut ialah tanah negara bebas. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, warga yang menempati tanah negara bebas selama lebih dari 20 tahun berhak atas prioritas kepemilikan tanah itu.
Kompas.com pun menelusuri dua lokasi penggusuran itu pada Selasa (20/8/2019).
Baca juga: Markas Ormas di Jakasampurna Bekasi Masih Kebal Gusuran Pemkot
Pemandangan kontras tampak di Jalan Bougenville Raya, Jakasampurna. Tiga bangunan masih berdiri tegak di ujung jalan, sedangkan puluhan rumah yang awalnya berdiri di samping tiga bangunan itu tinggal puing-puing.
Dalih pembebasan lahan guna normalisasi kali di dekat lahan gusuran pun seperti isapan jempol. Hampir satu bulan sejak penggusuran, puing-puing itu tak dibereskan sama sekali.
"Enggak ada yang ngerjain (normalisasi kali). Begini-begini saja," ujar seorang korban gusuran yang ogah menyebut namanya.
Hari itu, tiga rumah yang dua di antaranya berspanduk ormas, tampak beraktivitas seperti biasa. Bangunan paling ujung yang dindingnya dicat dominan biru, sekaligus bangunan paling luas, tampak terparkir beberapa mobil berlogo ormas loreng jingga. Salah satu mobil berlogo ormas itu berpelat merah.
Seorang korban gusuran, Ricky Pakpahan, curiga bahwa Pemerintah Kota Bekasi tak akan menggusur tiga bangunan itu, setidaknya dalam waktu dekat.
Pasalnya, tak tampak sama sekali sikap was-was dari penghuninya, seperti memindahkan isi rumah untuk mengantisipasi penggusuran yang bisa sewaktu-waktu terjadi.