JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus penganiayaan dan penculikan pegiat media sosial yang juga relawan Joko Widodo saat Pilpres 2019, Ninoy Karundeng, hingga kini belum menemui titik terang.
Sejumlah keterangan berbeda-beda dari berbagai pihak muncul belakangan.
Berdasarkan pengakuan Ninoy, ia dianiaya oleh sekelompok orang tak dikenal di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, pada Senin (30/9/2019).
Dia dianiaya lantaran merekam demonstran yang sedang mendapatkan pertolongan ketika terkena gas air mata.
Baca juga: Cerita Penganiayaan Ninoy Karundeng hingga Penetapan 11 Tersangka
Setelah dianiaya, Ninoy mengaku dibawa masuk ke Masjid Al-Falaah untuk diinterogasi dan sempat kembali dianiaya.
Sekelompok orang tak dikenal itu juga disebut menyalin data yang tersimpan dalam ponsel dan laptop Ninoy.
Kemudian, Ninoy juga sempat mendapat ancaman akan dibunuh.
Penganiayaan terhadap Ninoy berakhir setelah mereka memesan jasa GoBox untuk memulangkan Ninoy beserta sepeda motor yang telah dirusak pada Selasa (1/10/2019).
Hingga kini, polisi telah menetapkan 13 tersangka terkait penganiayaan dan penculikan Ninoy.
Salah satu tersangka adalah Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni (PA) 212 Bernard Abdul Jabbar.
Bernard disebut berperan mengintimidasi Ninoy saat kejadian berlangsung.
Bantahan PA 212
Namun, pernyataan itu dibantah oleh Ketua Umum DPP PA 212 Slamet Ma'arif. Ia membantah Bernard terlibat dalam penganiayaan terhadap Ninoy.
Menurut Slamet, Bernard saat itu berada di sekitar lokasi penganiayaan Ninoy lantaran mencari anaknya yang ikut dalam aksi demonstrasi.
Baca juga: Kala PA 212 Bantah Sekjennya Terlibat dalam Penganiayaan Ninoy Karundeng
Bernard disebut saat itu menolong para korban demonstrasi dengan P3K termasuk menyelamatkan Ninoy dari amukan massa.