JAKARTA, KOMPAS.com – “Ada air! Ada air!” seruan tersebut tertangkap telinga Rafa Muhammad (22) yang pada Kamis (17/1/2013) itu sedang berada di pos parkir Lantai Dasar 1 Plaza UOB, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Di luar hujan deras berlangsung sudah lebih dari sejam. Seruan tadi, entah dari siapa, jelas isyarat buat melarikan diri.
Tanpa pikir panjang, Rafa yang sehari-hari bekerja sebagai pelayan restoran di Plaza UOB langsung berlari menuju pintu keluar di bagian barat gedung.
”Saat itu air belum tinggi, baru sebetis,” ujar Rafa kepada Harian Kompas, Jumat (18/1/2013).
Seingatnya, ia melarikan diri pada pukul 10.30.
Irman (40) juga tak kalah kaget ketika itu. Sopir Bank UOB itu sontak menghidupkan mesin mobilnya yang terparkir di basement 1 Plaza UOB dan menginjak pedal gasnya kuat-kuat guna melarikan diri.
Sekuat tenaga mobilnya, dan beberapa mobil lain, meraung menggempur banjir yang menggulung dari arah berlawanan.
”Saat itu air baru merendam seperempat ban mobil. Airnya deras sekali. Benar-benar seperti tsunami kecil,” kata Irman kepada KOMPAS, Jumat.
Malam hari, usai air bah itu membanjiri basement 1 Plaza UOB, Sunarmi (54) berperilaku tak seperti biasa di rumahnya di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Ia ogah menyentuh nasi padang yang dibelikan anaknya untuk makan malam.
”Aku mau nunggu Eris dulu,” ujar Sunarmi, Kamis malam.
Eris adalah panggilan akrab Hardian Eko Eristya (28), putra sulung Sunarmi.
Eris bekerja sebagai petugas kebersihan di kompleks Gedung Thamrin Nine, tempat UOB Plaza berada.
Di hari itu, terjadi bencana akibat banjir yang tak pernah setragis itu sebelumnya di gedung perkantoran itu.
Harian Kompas mencatat, sepekan sebelum insiden di Plaza UOB, ketinggian air Sungai Ciliwung di Bendung Katulampa, Kota Bogor, melonjak hingga Siaga II Banjir akibat hujan deras di kawasan hulu di Puncak, Rabu (9/1/2013) sore.
Air tiba di Depok malam hari sebelum “mampir” ke Jakarta, Kamis (10/1/2013) pagi. Permukiman di sekitar aliran Ciliwung di Jakarta Selatan dan Timur mulai digenangi air.
Jumat (11/1/2013) mengawali tragedi banjir Jakarta 2013, satu tahun meleset dari mitos “siklus banjir 5 tahunan” yang terakhir melanda Ibukota pada 2007 dan 2002.
Tragedi banjir 2013 yang mencabut nyawa 27 warga bukan gara-gara faktor cuaca semata.
Laju pembangunan Jakarta yang makin rakus tak diimbangi dengan tata kelola wilayah yang cekatan.
Daerah resapan tersingkir bangunan dan jalan, tanah semakin jeblos ditindih gedung bertingkat yang mengeksploitasi air tanah, sedangkan sistem kanal tak berfungsi optimal mengalirkan air.
”Memang ada hujan lokal dan hujan di bagian atas yang saling berkontribusi. Namun, seharusnya tak memicu banjir sebesar ini,” kata Guru Besar Hidrologi Institut Teknologi Bandung Indratmo Soekarno kepada Kompas, Jumat (18/1/2013).
”Lapisan atas tanah Jakarta terendapi sedimen yang butirannya jauh lebih halus. Air kian sulit terserap tanah. Kekedapannya meningkat terus. Lahan 1 hektar yang tertutup beton dengan curah hujan 100 mm seperti kemarin bisa menghasilkan volume air permukaan 1.000 kubik,” imbuh Indratmo.
Padahal, berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, curah hujan rata-rata di beberapa tempat di Jakarta pada Januari 2013 lebih rendah dibanding Januari-Februari 2007.
Namun, titik banjir justru meluas secara signifikan dibandingkan banjir edisi 2002 dan 2007.
Salah satu buktinya ialah tergenangnya Balaikota DKI Jakarta di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis, di hari tragedi tersebut terjadi.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.