JAKARTA, KOMPAS.com - Komunitas adat di Indonesia didorong agar patuh pada segala imbauan pencegahan penyebaran Virus Corona.
Peran mereka penting untuk mencegah penyebaran Covid-19 tidak semakin meluas.
Peneliti Ahli Utama bidang Kebudayaan LIPI, Alie Humaedi, mengakui imbauan yang disampaikan pemerintah sedikit bertentangan dengan kultur masyarakat adat Indonesia pada umumnya.
Imbauan tersebut diantaranya social distancing atau menjaga jarak antara yang satu dengan yang lain serta menghindari kerumunan.
Baca juga: Dilema Pesta Adat Pernikahan Batak di Tengah Merebaknya Virus Corona
Dia menilai, hampir dalam setiap keseharian kita selalu bersinggungan dengan orang lain, terutama dalam acara adat.
"Nah secara umum dalam siklus kehidupan dan ritual, upacara siklus kehidupan baik kelahiran, kematian, perkawinan hampir menuntut kolektivitas atau komunalitas," kata dia saat dihubungi Kompas.com, Rabu (18/3/2020).
Namun dalam keadaan ini, diperlukan kesedian setiap individu untuk mencari strategi untuk menjalankan budaya kolektifitas, namun tidak menganggu keinginan orang lain untuk tetap hidup sehat.
Baca juga: Keluh Kesah Warga yang Tunda Pernikahan dan Ruginya Pengusaha Catering akibat Corona
Alie menekankan upaya ini bukan berarti mengubah substansi budaya seutuhnya.
"Caranya apa? Ya mungkin caranya tetap dengan kebiasaan upacara siklus kehidupan tetap dilakukan seperti pernikahan, kelahiran dan acara adat lain tetapi kemudian ada keadaban publiknya. Satu, menggunakan masker. Dua, menggunakan hand sanitizer. Tiga, mengambil jarak dulu. Jadi tetap acara itu berlangsung," terang dia.
Kesehatan harus utama
Di beberapa komunitas adat, kondisi kesehatan bukan menjadi fokus utama. Sehat atau sakit, bahkan hidup atau mati seseorang diyakini merupakan urusan Yang Maha Kuasa.
Apapun akan dilakukan demi menjalankan acara adat.
Alie melihat pola fikir seperti itu memang jadi pengangan hidup setiap masyarakat adat. Namun, terkadang bertentangan dengan dunia medis.
"Pandangan soal sakit penyakit selalu berujung kepada Tuhan, sesuatu Yang Maha Kuasa. Ini yang kemudian di satu sisi bertolak belakang dengan dunia medis, dunia klinis bahwa sakit dan penyakit itu bisa diciptakan oleh pribadi oleh lingkungan dan sebagainya," jelas dia.
Baca juga: Kasus 02 Ingatkan Pentingnya 14 Hari di Rumah untuk Putus Rantai Covid-19
Pada akhirnya, akan ada pertemuan pola pikir yang terjadi di masyarakat, yakni yang bersifat transenden (berbau ketuhanan) dan Profan (pemikiran yang tidak bersangkutan dengan agama).