Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

New Normal Bukan Hanya Urusan Cuci Tangan seperti Penjelasan Yurianto

Kompas.com - 18/05/2020, 11:56 WIB
Vitorio Mantalean,
Irfan Maullana

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah Indonesia belakangan mulai menggaungkan “hidup berdamai” dengan pandemi Covid-19, yang belum kunjung mampu ditaklukkan.

Ditambah dengan fakta bahwa penemuan vaksin Covid-19 masih lama, “hidup berdamai” seakan menjadi jalan pintas untuk keluar dari masalah.

Dengan menggaungkan istilah baru “the new normal alias pola hidup baru bersama virus corona, pemerintah mengklaim hal ini tidak serta-merta berarti pelonggaran PSBB.

Baca juga: Indonesia Dipaksa Sambut New Normal saat Kematian akibat Covid-19 Diperkirakan 3 Kali Lipat Data Pemerintah

Juru Bicara Penanganan Covid-19 Indonesia Achmad Yurianto dua hari lalu menyampaikan, dalam konteks new normal, masyarakat diminta mengubah perilaku agar dapat menyesuaikan diri di tengah-tengah sebaran virus corona.

"Bukan menyerah. Berdamai, bukan menyerah. Tetapi kita harus beradaptasi untuk mengubah pola hidup kita, dengan menjalankan protokol kesehatan yang ketat, yang benar, yang berdisiplin. Ini yang kita sebut sebagai pola kehidupan yang baru," ujar Yuri dalam keterangan pers daring di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (16/5/2020).

Baca juga: Pemerintah: Berdamai Bukan Menyerah, tapi Beradaptasi dengan Pola Hidup Baru

"Inilah cara hidup kita yang baru. Cara hidup kita yang selalu membiasakan untuk menjaga kebersihan diri. Selalu membiasakan untuk mencuci tangan dengan menggunakan sabun, menggunakan masker, menghindari kerumunan, dan kemudian kalau tidak perlu tidak keluar dari rumah," jelasnya.

Masalahnya, pola hidup bersih dan sehat terlalu sederhana untuk sebuah negara beralih ke fase new normal.

Badan Kesehatan Dunia alias WHO merilis enam panduan bagi negara-negara yang ingin beralih ke fase new normal. Keenamnya menitikberatkan pada tanggung jawab penuh pemerintah, bukan semata kesadaran masyarakat.

Baca juga: Sering Disebut-sebut, Apa Itu New Normal?

Pertama, negara tersebut harus memiliki bukti bahwa penularan Covid-19 dapat dikendalikan.

Kedua, kapasitas sistem layanan kesehatan termasuk rumah sakit dipastikan sanggup mendeteksi, mengisolasi, memeriksa, dan melacak serta mengarantina orang-orang yang kemungkinan berhubungan dengan pasien Covid-19.

Ketiga, risiko merebaknya wabah sanggup ditekan di lingkungan yang berisiko tinggi, seperti rumah-rumah para lansia hingga tempat-tempat berkerumun.

Keempat, sistem pencegahan di tempat-tempat kerja dapat diukur secara pasti, melalui physical distancing, ketersediaan fasilitas cuci tangan, dan etika batuk/bersin.

Baca juga: Simak, Panduan Protokol Kesehatan Pencegahan Covid-19 untuk Sambut New Normal

Kelima, risiko penularan kasus impor dapat ditangani.

Keenam, komunitas-komunitas/warga bisa “bersuara” (soal pandemi) dan dilibatkan dalam transisi menuju new normal.

Di samping itu, panduan tersebut sebetulnya ditujukan untuk negara-negara Eropa, karena beberapa negara di sana mulai menunjukkan tanda-tanda membaik berdasarkan kajian ilmiah, seperti Spanyol, Italia, Jerman, Perancis, dan Swiss.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bakal Diusung Jadi Cawalkot Depok, Imam Budi Hartono Harap PKS Bisa Menang Kelima Kalinya

Bakal Diusung Jadi Cawalkot Depok, Imam Budi Hartono Harap PKS Bisa Menang Kelima Kalinya

Megapolitan
“Curi Start” Jual Foto Prabowo-Gibran, Pedagang Pigura Pakai Foto Editan

“Curi Start” Jual Foto Prabowo-Gibran, Pedagang Pigura Pakai Foto Editan

Megapolitan
Stok Darah Bulan Ini Menipis, PMI Jakbar Minta Masyarakat Berdonasi untuk Antisipasi DBD

Stok Darah Bulan Ini Menipis, PMI Jakbar Minta Masyarakat Berdonasi untuk Antisipasi DBD

Megapolitan
Trauma, Pelajar yang Lihat Pria Pamer Alat Vital di Jalan Yos Sudarso Tak Berani Pulang Sendiri

Trauma, Pelajar yang Lihat Pria Pamer Alat Vital di Jalan Yos Sudarso Tak Berani Pulang Sendiri

Megapolitan
Seorang Pria Pamer Alat Vital di Depan Pelajar yang Tunggu Bus di Jakut

Seorang Pria Pamer Alat Vital di Depan Pelajar yang Tunggu Bus di Jakut

Megapolitan
Nasib Tragis Bocah 7 Tahun di Tangerang, Dibunuh Tante Sendiri karena Dendam Masalah Uang

Nasib Tragis Bocah 7 Tahun di Tangerang, Dibunuh Tante Sendiri karena Dendam Masalah Uang

Megapolitan
Resmi, Imam Budi Hartono Bakal Diusung PKS Jadi Calon Wali Kota Depok

Resmi, Imam Budi Hartono Bakal Diusung PKS Jadi Calon Wali Kota Depok

Megapolitan
Menguatnya Sinyal Koalisi di Pilkada Bogor 2024..

Menguatnya Sinyal Koalisi di Pilkada Bogor 2024..

Megapolitan
Berkoalisi dengan Gerindra di Pilkada Bogor, PKB: Ini Cinta Lama Bersemi Kembali

Berkoalisi dengan Gerindra di Pilkada Bogor, PKB: Ini Cinta Lama Bersemi Kembali

Megapolitan
Pedagang Maju Mundur Jual Foto Prabowo-Gibran, Ada yang Curi 'Start' dan Ragu-ragu

Pedagang Maju Mundur Jual Foto Prabowo-Gibran, Ada yang Curi "Start" dan Ragu-ragu

Megapolitan
Pagi Ini, Lima RT di Jakarta Terendam Banjir akibat Hujan dan Luapan Kali

Pagi Ini, Lima RT di Jakarta Terendam Banjir akibat Hujan dan Luapan Kali

Megapolitan
Cek Psikologi Korban Pencabulan Ayah Tiri, Polisi Gandeng UPTP3A

Cek Psikologi Korban Pencabulan Ayah Tiri, Polisi Gandeng UPTP3A

Megapolitan
Hampir Lukai Warga dan Kakaknya, ODGJ di Cengkareng Dievakuasi Dinsos

Hampir Lukai Warga dan Kakaknya, ODGJ di Cengkareng Dievakuasi Dinsos

Megapolitan
Saat Pedagang Kecil Jaga Marwah Kebangsaan, Belum Jual Foto Prabowo-Gibran meski Sudah Jadi Pemenang

Saat Pedagang Kecil Jaga Marwah Kebangsaan, Belum Jual Foto Prabowo-Gibran meski Sudah Jadi Pemenang

Megapolitan
Kekecewaan Pedagang yang Terpaksa Buang Puluhan Ton Pepaya di Pasar Induk Kramatjati karena Tak Laku

Kekecewaan Pedagang yang Terpaksa Buang Puluhan Ton Pepaya di Pasar Induk Kramatjati karena Tak Laku

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com